Home KWI Mengenal Islam “dari Dalam” di KWI

Mengenal Islam “dari Dalam” di KWI

TIGA narasumber penting dari kalangan akademisi muslim hadir dalam sebuah ceramah di kantor KWI di Jl. Cut Meutia, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (22/8/2014) petang kemarin.

Ketiga narasumber itu adalah Prof. Irfan Idris MA dari Badan Nasional Penanggungalangan Terorisme (BNPT), Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi, PUSAD Paramadina Ihsan Ali-Fauzi, dan dosen Universitas Islam Indonesia (UIN) Abdul MoQsith Ghazali.

Ketiganya bicara tentang Islam dan gerakan Islam radikal dari berbagai sudut perspektif berbeda.

Seminar ini diprakarsai oleh Komisi Kerasulan Awam (Kerawam) KWI.

Menurut Sekretaris Eksekutif Komisi Kerawam KWI Romo Guido Suprapto Pr selaku penyelenggara acara, latar belakang dibuatnya acara diskusi ini adalah berkaitan dengan situasi yang berkembang di masyarakat di Indonesia. Yakni munculnya fenomena gerakan radikal seperti ISIS yang mengancam dan membahayakan banyak orang.

Guna mendapatkan pemahaman komprehensif mengenai perkembangan actual di tanahair ini, maka Komisi Kerawam KWI  mengundang para anggota Presidium KWI, PGI, berbagai kelompok masyarakat katolik, dan kaum aktivis awam.

Dosen dan kriminolog senior UI Prof  Adrianus Meliala menjad moderator dalam diskusi ini.

Para uskup pun hadir

Beberapa uskup yang baru saja menyelesaikan rapat Presidium KWI menyempatkan hadir dalam seminar ini. Mereka adalah Sekjen KWI sekaligus Uskup Agung Keuskupan Semarang Mgr. Johannes Pujasumarta, Uskup Keuskupan Ketapang Mgr. Pius Riana Prabdi, Uskup Keuskupan Denpasar Mgr. Sylvester San, Uskup Keuskupan Sibola Mgr. Ludovicus Simanullang OFMCap, dan Uskup Keuskupan Banjarmasin Mgr. Petrus Boddeng Timang.

seminar mengenal islam radikal -1
Sambutan penyelenggara: Sekretaris Komisis Kerasulan Awam (Kerawam) KWI Romo Guido Suprapto menyampaikan kata sambutan kepada para pembicara dan hadirin. (Royani Lim/Sesawi.Net)

 

Sejumlah imam dan suster juga hadir dalam seminar ini.

Gerakan radikal Islam
Kepala Desk Deradikalisasi BNPT Prof. Dr. Irfan Idris MA mengawali perbincanganya dengan menerangkan apa itu ‘radikalisme”. Intinya, kata dia, ini adalah gerakan yang ingin melakukan arus  perubahan secara cepat dan tak jarang sering menggunakan kekerasan.

Kelompok ini cenderung mengklaim diri akan kebenaran agamanya sendiri, merasa paling mengerti akan doktrin agamanya dibanding kelompok lain dari agama yang sama, dan sering memaksa dan menghakimi kelompok lain yang berbeda paham dan punya kepentingan berbeda.

Radikalisme bukan muncul sebagai ‘kesalahan’ agama, melainkan salah cara pandang dalam memahami makna atau ajaran agama. Radikalisme muncul karena masih adanya banyak problematika sosial yang ada di masyarakat: kemiskinan, ketidakadilan, dan masih banyak lagi.

seminar mengenal islam radikal -8
Para uskup, imam dan suster pun terlibat: Saking menariknya diskusi ini, sejumlah uskup anggota Presidium KWI, imam dan para suster menyempatkan diri hadir dalam seminar ini. (Royani Lim/Sesawi.Net)

13 kelompok radikal

Menurut catatan BNPT, ada sedikitnya 13 kelompok radikal yang cenderung agresif di Indonesia. Mereka ini terdiri dari empat lapisan, yakni simpatisan, pendukung fanatic, aktivis, dan kelompok inti.

Hingga kini, pihaknya di BNPT melakukan berbagai langkah membendung gerakan radikal melalui beberapa mekanisme sebagai berikut:

  • Dari segi ideologi: semakin dimantapkan pentingnya Pancasila sebagai dasar negara.
  • Dari segi manajemen pemerintahan: perlunya sikap tegas dari pemerintah dan DPR untuk menyikapi tindakan kekerasan atas nama agama. Polisi harus mendapat ‘payung hukum’ yang jelas dan tegas untuk bisa menindak kelompok-kelompok radikal anarkis ini tanpa beban nantinya dituding melakukan pelanggaran HAM atau kesalahan lainnya.
  • Dari segi hukum: Perlunya menyusun UU yang melindungi ideology negara dan UU Anti Teror dan tegakkan juga UU Kewarnageraan seperti termaktub dalam UU No 12/Tahun 2006 Pasal 23 (f) yang intinya menyatakan WNI akan kehilangan haknya sebagai warganegara kalau menyatakan janji atau sumpa setia kepada negara asing dan lembaga asing.
seminar mengenal islam radikal -7
ISIS dan gerakan radikalisme Islam di Indonesia: Topik menarik dan lagi hangat-hangatnya di Indonesia ini menjadi bahan diskusi dan ceramah oleh tiga nara sumber penting dari kalangan akademisi Islam di KWI. (Royani Lim/Sesawi.Net)

Kotbah dan ceramah tak bersahabat

Sementara itu, pembicara kedua Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi Universitas Paramadina Jakarta Ihsan Ali-Fauzi menyebut maraknya ‘kotbah-kotbah’ bernada kebencian yang sering dilakukan oleh para ustad radikal. Menurut dia, sejak tahun 1970-an sudah muncul terminologi ‘fundamentalisme” untuk menyebut kelompok radikal ini.

Tahun 1990-an muncul lagi istilah “Islamisme” yang dimaknai sebagai gerakan ideologi Islam yang dimanifestasikan di ranah publik dengan dua mekanisme cara ‘perjuangan’. Yakni moderat dan jalur kekerasan.

Fenomena munculnya partai-partai berbasis agama Islam membuktikan adanya arus kelompok moderat ini, sementara kelompok-kelompok radikal lainnya memilih jalur perjuangan melalui kekerasan dan semangat ‘juang.

Salah satunya, kata Ihsan, adalah berbagai pidato atau syiar Islam yang bernada ‘permusuhan’ atau mengobarkan semangat tidak bersahabat dengan kelompok lain.

Mengapa menolak ISIS

Pembicara ketiga adalah Abdul MoQsith Ghazali dari Universitas Islam Indonesia, Ciputat, Tangerang Selatan. Menurut dia, gerakan Islam radikal bukan hal baru dalam sejarah Islam. Bahkan sejak Islam masih muda usia, sudah muncul Khawarij sebagai ‘sekte’ Islam yang mengkafirkan kelompok Islam lainnya.

seminar mengenal islam radikal -4
Tiga pembicara dar kalangan muslim: Acara diskusi tentang gerakan radikalisme Islam dibahas oleh ketiga nara sumber penting dari kalangan akademisi muslim di Jakarta dalam sebuah seminar di KWI, Jumat (22/8/2014) petang. Prof. Adrianus Meliala menjadi moderatort dalam diskusi ini. (Royani Lim/Sesawi.Net)

Menurut dia, negara-negara Timur Tengah menjadi lahan paling subur bagi kelompok-kelompok Islam radikal ini. Ada banyak ketidakadilan di sana, berikut terjadinya transisi demokrasi yang malah menimbulkan ketidakstabilan politik dan sosial di Timur Tengah. Para pemimpin yang lahir dari zaman revolusi transisi demokrasi ini ternyata lemah menangani konflik sosial yang terjadi.

Ada banyak ‘varian’ dalam melihat gerakan dan kelompok Islam radikal. Menurut dia, Al Qaeda itu berbeda dengan ISIS. Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) bensutan Abu Bakar Baasyir juga berbeda dengan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang dipimpin Mohammad Thalib.

Sebagaimana kelompok puritan Islam lain, ISIS juga ingin kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunah, menegakkan tauhid dengan konsekuensi memberantas segala bentuk kemusyikan. Tetapi mereka lebih ekstrem dari Gerakan Wahabi; mereka berniat ingin menghancurkan segala situs yang dianggap sebagai sarang kemusyikan.

Menurut dia, Indonesia merupakan negara yang ramai dengan lalu lalang ideologi dan gerakan. Indonesia sering mengimpor pemikiran, baik yang garis keras maupun lunak. Sedangkan sejumlah upaya untuk mengekspor pemikiran-pemikiran moderal Islam Indonesia ke luar ternyata tak mendapat sambutan meriah.

Kata dia, mungkin karena terlalu keras ke dalam umat Islam, maka ISIS mendapatkan penolakan dari sebagian besar ulama Islam. Di Indonesia, pimpinan MUI, NU, Muhammadiyah sudah tegas-tegas menolak ISIS.

Untuk menangkal ISIS, Indonesia perlu figur ulama yang diakui kehebatan intelektualnya sekaligus berkarisma sosial seperti almarhum Presiden Abdurrahmand Wahid alias Gus Dur.

Uskup Banjarmasin Mgr Petrus Boddeng Timang by Hidup Katolik
Uskup Keuskupan Banjarmasin di Kalimatan Selatan: Mgr. Petrus Boddeng Timang Pr (Courtesy Hidup Katolik)

Tanggapan peserta
Uskup Diosis Banjarmasin di Kalsel Mgr. Petrus Boddeng Timang Pr menyambut gembira Komisi Kerawam KWI bisa menyelanggarkan seminar penting ini. Apalagi, kata dia, kita diajak mengenal lebih mendalam tentang Islam “dari dalam” yakni dari para pemikir Islam yang berkompeten di bidangnya.

“Kegiatan seperti ini perlu sering diselenggarakan supaya kita kalangan katolik semakin paham apa kata kekompok lain di luar kita tentang berbagai masalah yang menjadi pokok keprihatinan kita. Itu ternyata juga menjadi masalah yang mereka juga tengah gumuli,” ungkapnya menjawab Sesawi.Net.

Menurut Mgr. Timang, isi ceramah itu sendiri menarik,meski esensinya sudah banyak diulas secara publik. “Proficiat untuk Romo Guido Suprapto dan Komisi Kerasulan Awam KWI yang telah menggelar acara seminar ini dengan baik,” paparnya mantan Rektor Seminari Tinggi Anging Mamiri Yogyakarta untuk para frater diosesan Keuskupan Agung Ujungpandang ini.

Penting, berguna dan lanjutkan

Menurut Pandu, alumnus penerima beasiswa tahun 2005 dari Yayasan Bhumiksara, acara semacam ini sangat penting dan seharus makin sering digelar di lembaga-lembaga katolik. Ini untuk mengikis semangat tak mau tahu di kalangan orang muda katolik akan masalah-masalah kebangsaan berkaitan dengan maraknya gerakan radikalisme agama.

seminar mengenal islam radikal -2
Ceramah Islam dari ‘dalam”: Dipandu Prof. Adrianus Meliala dari UI, seminar tentang radikalisme Islam dibahas oleh ketiga pakar Islamologi dari perspektif berbeda. (Royani Lim/Sesawi.Net)

“Sangat baik kalau informasi-informasi penting seperti yang tersaji dalam seminari di KWI Jumat petang kemarin itu bisa dikeahui publik pada umumnya dan umat katolik pada khususnya. Saya pribadi sangat berharap Komisi Kerawam KWI dan komisi-komisi lainnya juga aktif menggulirkan gerakan sama,” papar PNS di sebuah kementerian ini.

“Sebagai kaum muda katolik, saya mengapresiasi acara tersebut karena sangat memberi manfaat dan menambag informasi bagi kaummuda yang ceenderung apatis, tidak mau tahu dengan masalah-masalah kebangsaan. Menjadi penting agar kita jangan tertelan oleh informasi-informasi yang salah di masyarakat” tutur Pandu.

Kredit foto: Royani Lim/Sesawi.Net