Home BERITA Menoreh Cerita, Menjawab Visi Hidup

Menoreh Cerita, Menjawab Visi Hidup

Mei, Bacaan, bait allah, bapa suci, Doa Rosario Laudato Si, Firman Tuhan, Hari Komunikasi Sedunia, iman, Injil Katolik, Kitab Suci, Komsos KWI, Konferensi Waligereja Indonesia, KWI, Mei, Bulan Rosario, opini, Paus Fransiskus, Pekan Komunikasi Nasional, pekan suci, penyejuk iman, pesan paus, rosario, sabda Tuhan, Yesus Juruselamat, refleksi, refleksi pesan paus fransiskus, Hari Komunikasi Sosial Sedunia, Hari Komunikasi Sosial Nasional, Hari Minggu Paskah VII

Bagaimana kelak cerita hidup akan diceritakan pada anak cucu kalau tidak tahu visi hidup kita? Perjalanan kita selanjutnya akan menjadi upaya menjawab visi itu terus menerus.

Seorang Jesuit asal India, Anthony de Mello pernah mengajarkan metode meditasi unik yang mengadaptasi meditasi para biku di India. Disebut dengan meditasi kematian. Metode ini ditulisnya dalam buku berjudul Sadhana, Jalan Menuju Tuhan.

Caranya, Anda cukup mengenangkan momen saat Anda meninggal dan dimakamkan. Mulai dengan menggambarkan jenazah Anda terbaring dalam peti terbuka. Perhatikan jenazah khususnya wajah dengan ekspresinya. Lalu lihatlah orang-orang yang datang untuk menghadiri pemakaman. Berjalanlah dari bangku ke bangku perlahan-lahan. Lihatlah wajah mereka. Berhentilah pada setiap orang dan perhatikan. Apa yang dipikirkan dan dirasakan?

Dengarkan kotbah yang sedang diberikan. Siapa pengkotbahnya? Apa yang dikatakan tentang diri Anda? Apakah Anda dapat menerima semua ucapan yang dikatakan tentang Anda? Kalau tidak, perhatikan hambatan apa yang merintangi Anda menerima ucapan-ucapan dalam kotbah itu. Hal-hal baik mana dari yang dikatakan tentang diri Anda itu mau diterima? Bagaimana rasanya mendengar dia berkata-kata begitu?

Perhatikan sekali lagi wajah-wajah sahabat dan teman yang datang menghadiri pemakaman Anda. Gambarkan semua kenangan baik yang akan mereka ceritakan, satu kepada yang lain kalau mereka pulang ke rumah usai penguburan. Bagaimana perasaan Anda sekarang? Apakah ada sesuatu yang ingin Anda katakan kepada mereka masing-masing sebelum pulang?

Juga pesan terakhir sebagai jawaban pada pikiran dan perasaan mereka terhadap Anda. Jawaban yang mungkin tidak akan sampai mereka sekarang ini. Katakanlah dan rasakan juga apa ini akibatnya pada Anda?

Sekarang upacara pemakaman sudah usai. Bayangkan Anda berdiri di atas makam tempat tubuh Anda dikuburkan dengan pandangan mengikuti semua sahabat pergi meninggalkan tempat kuburan. Sekarang, bagaimana perasaan Anda? Sambil berdiri di situ, tinjaulah kembalihidup Anda dengan segala pengalaman. Apakah semua itu layak dihargai?

Sadari kembali hidup Anda sekarang. Nyatanya, Anda masih hidup dan diberi waktu. Pikirkan, kenangkanlah diri Anda sendiri. Apakah Anda melihat diri sendiri secara lain atau berperasaan lain tentang diri Anda sendiri akibat latihan ini?

Bukan Ngalup

Latihan seperti ini berkali-kali saya manfaatkan untuk anak-anak muda yang saya bimbing rekoleksi atau retret. Juga untuk diri sendiri. Konsiderasi atau permenungan ini kemudian akan memancing pertanyaan tentang diri kita sendiri, bukan orang lain. Pertanyaan yang otomatis bakal muncul berbunyi: Kisah apa yang hendak kubuat selama sisa hidupku di dunia ini? Apakah aku mau membuat cerita indah dan manis atau cerita buruk tentang diriku?

Jawabannya jelas. Cerita manislah yang ingin ditulis dan diceritakan. Membayangkan kematian bukan berarti kita ngalup (red : Jawa = berpikir mengada-ada seolah-olah menginginkan hal itu terjadi). Melainkan melatih visi kita dan membantu meningkatkan kesadaran akan pentingnya membangun kisah bermakna dalam hidup ini.

Jangan sampai saat usia sudah tidak lagi muda, baru saat itulah sadar bahwa kita belum melakukan apa pun yang berarti dalam hidup. Jangan sampai sudah terlanjur uzur, kita baru ngeh, belum menenun kisah-kisah indah yang layak diceritakan kepada anak cucu kita.

Maka, Paus dalam pesannya di Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-54 yang dirayakan hari Minggu, 24 Mei 2020 menyebutkan, “Manusia bukan hanya satu-satunya makhluk hidup yang membutuhkan pakaian untuk menutupi kerapuhannya (bdk. Kej 3:21). Ia juga merupakan satu-satunya makhluk yang perlu mengisahkan dan mengenakan pada dirinya cerita-cerita untuk menjaga hidupnya. Kita tak hanya menenun pakaian, tetapi juga menenun cerita. Ini karena sesungguhnya, kemampuan manusiawi untuk menenun (Latin: texere) tidak hanya mengacu pada kata tekstil, tetapi juga teks. (Bdk. Pesan Paus Fransiskus untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-54).

Kalau begitu, kisah-kisah seperti apakah yang layak untuk kita tenun dan kelak bisa kita jadikan cerita ke anak cucu? Tentu saja kisah-kisah yang bisa menjadi teladan, panutan dan inspirasi. Kisah-kisah yang mampu menyentuh hati anak-anak dan cucu kita.

Tujuan Lebih Tinggi

Pada dasarnya permenungan tentang kematian akan membawa kita pada pemahaman tentang tujuan hidup kita di dunia ini. Tentu kita tidak ingin cerita-cerita baik yang kita buat tidak ada isinya. Maksudnya, jangan sampai perbuatan (cerita) baik yang dilakukan hanya sekadar memenuhi keinginan agar kerabat dan kawan-kawan serta kolega mengenang kita sebagai orang baik.

Kita perlu mengisinya dengan tujuan yang lebih tinggi nilainya. Karena itu perlu ada pendasaran yang kuat untuk hal ini.

Santo Ignasius Loyola pendiri Ordo Serikat Jesus  dalam buku Latihan Rohani yang ditulisnya sendiri menyebutkan visi kehidupan yang bisa mendasari dalam mengisi cerita baik hidup kita. Visi kehidupan ini disebutnya Asas dan Dasar.

Dia menuliskan, “Manusia diciptakan untuk memuji, menghormati, dan melayani Tuhan, dan dengan demikian ia memperoleh keselamatan jiwanya. Dan segala sesuatu yang lain di dunia diciptakan untuk manusia dan bahwa mereka dapat membantunya untuk mencapai tujuan akhir yang untuknya manusia diciptakan. Dari sini, artinya, manusia harus mempergunakan hal-hal duniawi tersebut asalkan hal-hal tersebut dapat membantunya mencapai tujuan akhir-nya, dan ia harus membuang hal-hal tersebut sejauh itu menghalanginya untuk mencapai tujuan akhir. Untuk ini, adalah penting untuk membuat diri kita tidak terikat kepada semua hal yang diciptakan, di dalam segala sesuatu yang diperbolehkan menjadi pilihan bebas kita dan yang tidak dilarang; sehingga di pihak kita, kita tidak menginginkan kesehatan daripada penyakit, kekayaan daripada kemiskinan, penghormatan daripada penghinaan, umur panjang daripada umur pendek, sehingga di dalam segala sesuatu, hanya menginginkan dan memilih apa yang paling kondusif bagi kita untuk mencapai tujuan akhir yang untuknya kita diciptakan.” (SE, 23).

Visi ini pada dasarnya keluar dari kesadaran mendalam akan cinta Alllah yang besar pada kita. Respon atas cinta itulah yang kemudian terwujud dalam pujian, hormat dan pengabdian kepada Allah selama hidup. Jadi, visi ini mengarahkan kita pada sumber kehidupan.

Hal-hal yang kita putuskan untuk kita lakukan sehari-hari bisa jadi mendorong kita menjauh dari Allah atau menarik lebih dekat pada Allah. Dengan kesadaran akan visi ini, kita diajak untuk selalu melihat motivasi dari segala tindakan kita.

Arahnya agar kita selalu mendambakan dan memilih satu saja, yakni agar kita selalu mampu membiarkan Allah merasuki hidup kita. Dalam What is Ignatian Spirituality? Karangan David L Fleming SJ, disebutkan, Ignasius melihat Allah sebagai sahabat yang selalu hadir, tidak jauh dan terpisah dari hidup kita. Allah selalu terlibat dalam detail hidup kita.

Kalau demikian, hidup kita bisa disebut sebagai sebuah peziarahan. Karena peziarah bukan pengembara. Juga bukan pengembara atau pelancong yang pergi tanpa tujuan. Peziarah memiliki tujuan meskipun untuk mencapainya harus menempuh banyak jalan yang berbeda.

Baca juga: Rajut Cerita Indah Kita dengan Semesta

Dengan Hati Menjawab Visi

Jadi, marilah kita isi hidup kita dengan perbuatan-perbuatan yang selalu didasari pada motivasi untuk menjawab cinta Allah yang sungguh luar biasa bagi hidup kita.  Dia selalu hadir dan terlibat dalam hidup kita bahkan dalam situasi yang sangat tidak menguntungkan atau tampak suram sekalipun seperti pandemi Covid-19 saat ini.

Dalam keadaan seperti ini kita tetap bisa berbuat dan menorehkan cerita positif melalui kepedulian kepada sesama entah lewat uang, barang, sekadar sapaan dan obrolan yang menguatkan, atau apa pun. Cerita manis itu juga bisa berupa sikap positif dalam menjalani semua aturan social / physical distancing yang diwajibkan pemerintah.

Apa pun juga bisa kita lakukan, termasuk hal-hal yang kelihatannya sepele seperti mendoakan mereka yang sakit, para pekerja medis, pemerintah atau siapa saja. Semuanya sangat berarti dan tak pernah menjadi sepele asalkan dijalani dengan hati ikhlas. Dan dengan semangat ingin menjawab cinta Allah yang begitu murah bagi hidup kita.

Perjalanan menyusun cerita hidup kita itu bagaikan sebuah upaya terus-menerus menjawab pertanyaan, “Apa arti hidup ini?”. Ini merupakan visi yang jawabannya hanya bisa diberikan oleh hati kita, bukan akal atau pikiran saja. Dengan kata lain, hati menjadi landasan dalam menoreh cerita manis hidup kita masing-masing.

Mei, Bacaan, bait allah, bapa suci, Doa Rosario Laudato Si, Firman Tuhan, Hari Komunikasi Sedunia, iman, Injil Katolik, Kitab Suci, Komsos KWI, Konferensi Waligereja Indonesia, KWI, Mei, Bulan Rosario, opini, Paus Fransiskus, Pekan Komunikasi Nasional, pekan suci, penyejuk iman, pesan paus, rosario, sabda Tuhan, Yesus Juruselamat, refleksi, refleksi pesan paus fransiskus, Hari Komunikasi Sosial Sedunia, Hari Komunikasi Sosial Nasional, Hari Minggu Paskah VII

 

 

Abdi Susanto, Jurnalis

Inspirasimu: Pesan Paus Untuk Hari Komunikasi Sedunia ke-54