Beranda KWI KOMSOS KWI OMK Jakarta vs Se’i

OMK Jakarta vs Se’i

KULINER kancah Kupang, tanah air, bahkan dunia sudah diramaikan oleh kehadiran Se’i selama 25 tahun. Makanan khas kota karang ini sudah melewati perjalanan panjang bersama pecinta daging babi sejak ditemukan di Baun.

Saya diizinkan Tuhan melayani di kota kasih ini. Kotanya tidak seluas Jakarta yang pasti, sehingga selama enam hari di sana, saya sudah mulai ingat jalan-jalan di sana.

Sebelum mengikuti upacara tahbisan 13 imam baru dari Seminari Tinggi St. Mikhael, Penfui sekaligus syukuran 25 tahun umur seminari itu, saya dan rombongan pergi ke Baun.

Perjalanan menanjak gunung, melewati beberapa bagian jalan rusak, cuaca khas Kupang: panas tapi turun hujan memang cocok menjadi pengantar untuk mencicip sesepuhnya Se’i.

Daerah gunung Baun ini adalah tempat asaln Se’i. Di sinilah daging babi bakar asap itu berasal. Dipelopori oleh Om Ba’i, ia berinisiatif untuk mengolah daging babi mentah yang biasa dijajakannya. Ternyata, hasil eksperimennya cocok dengan lidah masyarakat sekitar, bahkan penikmat B2 tanah air.

Dari sebuah kios kecil, tempat makan yang hanya menjual nasi, se’i, rusuk babi, dan lombok (cabai) ini berkembang sampai beberapa rumah. Maklum, ramainya pengunjung -apalagi di akhir pekan- membuat Om Ba’i harus menyediakan meja dan kursi lebih.

Babi ini dibeli dari peternakan pemerintah. Maka itu, setiap struk penjualan di Om Ba’i dibuat dua rangkap, satunya akan dilaporkan kembali kepada balai desa penyalur babi.

Di hari-hari kerja, Om Ba’i menghabisi nyawa satu babi saja. Namun bila akhir pekan, tiga ekor habis sudah! Bukan main.

Kami disambut beberapa ekor anjing, sekitar delapan atau sembilan ekor, yang siap ‘makan bersama’. Kami singgah ke WC di belakang sebentar, sampai saya bertemu dengan…

s4
Nana itu…

Saya menatapnya, dia menatap saya. Beberapa detik intim itu, kami bertelepati. Pesan yang saya ‘tangkap’ dari wajah sang kuku belah ini adalah, “Hari ini lagi ingin bermalas-malasan.” Babi enam bulan itu berbaring saja. Saya lewat pun, dia menengok sebentar, mengamat-amati, kemudian tidur lagi.
Semoga pesan telepati yang ia dapat dari saya adalah, “Permisi, kami mau makan saudaramu yang dapat giliran hari ini.”

Saya, Sekretaris Eksekutif Komsos KWI, RD Kamilus Pantus, dan A. Margana, mantan direktur Majalah HIDUP kemudian berpaling ke pondok tempat makan.

Pondok itu diberi sekat, dipagari seperti arena bermain anak, dan ada kuncinya: untuk menghindari anjing yang mau ambil alih Se’i pelanggan. Kami pesan rusuk satu kilogram, porsi enam sampai tujuh orang. Segeralah seorang mama mengangkat sebongkah rusuk babi dari kotak pendingin, diletakkan di atas barisan kayu lamtoro.

s2
“Besarnya rusuk itu…”
s3
Dioles lemak lagi

Batang pohon yang panjangnya masih utuh itu ditata satu meter di atas pembakaran. Api dinyalakan dari kayu lamtoro yang sudah kering, dan mulailah rusuk itu diasapi.

Pelanggan bisa pesan Se’i sesuai selera: kering atau agak basah. Bila basah, mama tinggal mengoles lemak babi cair hasil gorengan ketika membakar.

Babi bakar ini sudah menu harian selama kami di Kupang. Kami sempat makan di dua restoran di daerah kota. Namun, yang satu sudah membakar menggunakan batu bara -modern (hasilnya seperti di foto termuka). Yang satu lagi, menyajikan Se’i yang sudah diiris (tidak ada foto).

Di Om Ba’i, kami dibekali satu pisau garpu, dan dipersilahkanlah kami untuk memotong sesuai selera. Saya hanya makan satu cabang rusuk, sudah kenyang, dan di-‘kenyang-kenyang’kan. Pasalnya, saya dan RD Kamilus mulai mengalami sakit-sakit di kepala, pundak. Kami marathon Se’i dan inilah dia: apa yang kamu tabur, itu yang kamu tuai. Eehhh ~

s6

Memang citarasa sesepuh Se’i punya keunikan sendiri. Lidah ini merasakan apa yang 25 tahun lalu sekadar ‘coba-coba’. Puji Tuhan. Kami keluar pondok dan lupa menutup pintu, anjing-anjing segera masuk, bahkan naik ke meja, segera berlomba menghabiskan tulang.

s5
Lapar sekali sepertinya… Pantas gemuk-gemuk.

Perjalanan pulang, saya yang mengemudi. “Kalau kamu yang setir, enak,” kata RD Kamilus. Apa kata? Memang menyupir ini talenta warisan sang ayah. Kami nikmati udara sejuk daerah tinggi Kupang, dan sesampai di kota, hujan turun, menghantarkan hawa panas ke dalam mobil. Segera kami tutup kaca.

Setibanya di penginapan, kami mengobrol sebentar dengan induk semang. Muncul satu pertanyaan, “Mau makan Se’i?” Saya dan RD Kamilus serentak menjawab: Anda pasti tahu jawaban kami.