Home OPINI Pelayanan Berbasis Data: Gereja yang Selalu Berubah (1)

Pelayanan Berbasis Data: Gereja yang Selalu Berubah (1)

ECCLESIA semper reformanda, Gereja selalu membaharui diri. Itulah semboyan yang nyaring digaungkan selama dan sesudah Konsili Vatikan II. Semboyan ini mau menekankan bahwa Gereja sebagai realitas historis dan sosial selalu berada dalam pusaran perubahan zaman.

Gereja tidak pernah bersikap pasif dalam menanggapi situasi serta tuntutan zaman yang sedang terjadi. Gereja akan tetap eksis bila Gereja mampu menempatkan diri di dalam arus perubahan dan tantangan zaman. Tanpa kemampuan menyikapi perubahan itu, lambat laun Gereja akan kehilangan relevansi dan aktualitasnya bagi umat dan masyarakat.

Pembaharuan dalam Gereja merupakan sebuah keharusan berhadapan dengan kemajuan zaman yang semakin pesat dewasa ini. Hal itu dapat terjadi, bila pola pastoral Gereja mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan umat dan masyarakat yang menjadi tujuan dan sasaran dari reksa pastoralnya. Untuk itu, diperlukan pola pastoral yang sesuai dengan konteks umat, artinya sesuai dengan situasi dan kebutuhan real umat.

Selanjutnya, agar situasi dan kebutuhan umat dapat diketahui dengan tepat, diperlukan data umat yang akurat, baik yang berkaitan dengan jumlah, komposisi usia, jenis kelamin, pendidikan, mata pencaharian, suku/budaya serta harapan, keresahan dan kerinduan umat terhadap kehadiran Gereja di tengah-tengah mereka.

Data umat yang sedemikian itu, dapat diperoleh melalui pendataan umat. Ini adalah langkah awal dan bagian penting dalam pelaksanaan “Pastoral berbasis  data” yang sedang ramai dibicarakan di banyak paroki dan keuskupan.

Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), sejak 2009, telah mewacanakan Pastoral Berbasis Data.

Pastoral berbasis data

Dengan dimunculkannya istilah “Pastoral Berbasis Data” sebagai sebuah kebaharuan dalam kazanah pastoral Gereja, tentu menimbulkan pertanyaan yang mengusik di kalbu tubuh Gereja. “Apakah pastoral yang dijalankan oleh Gereja selama ini tidak berbasis pada data umat?”

Kalau tidak berbasis kepada data umat dengan segala aspek yang disebutkan diatas, lalu pastoral yang dijalankan selama ini, berbasis kepada apa? Apakah berbasis kepada kepentingan Gereja sebagai Hirarki dan institusi atau berbasis kepada situasi aksidental atau emergensi yang terjadi di tengah-tengah kehidupan umat? (Baca juga:  Berpastoral: Aktivitas Penggembalaan Umat (2)

USKUP NDAPLANG 2R
Uskup Agung Medan Mgr. Datubara OFMCap bereaksi gembira dengan menjulurkan kedua tangannya saat diperkenalkan kepada umat Paroki Kosambi; di depannya adalah Uskup Keuskupan Manado Mgr Jos Suwatan MSC. (Mathias Hariyadi)

Inilah pertanyaan menarik yang perlu digali dan direnungkan lebih jauh manakala kita berusaha untuk memahami secara komprehensif pola pastoral yang dijalankan selama ini, baik pada level Gereja lokal maupun Universal. Tentu saja, masing-masing zaman dengan segala kekhasannya membawa serta dampak langsung terhadap pilihan pola pastoral yang diambil oleh Gereja.

Apa pun bentuk pilihan pastoral yang diambil, pasti dianggap paling sesuai atau cocok dengan kebutuhan umat pada saat itu. Dengan kata lain, setiap pilihan pastoral yang diambil pada zaman tertentu, dimaksudkan untuk menanggapi atau memberikan solusi atas persoalan pastoral yang dialami oleh umat pada zamannya, sehingga menilai apa yang sudah terjadi di masa lampau dengan menggunakan “kacamata” zaman ini, tentu merupakan suatu penilaian yang tidak fair dan bisa menimbulkan efek negatif yang tidak diinginkan.

Oleh karena itu, kiranya tepat kalau dikatakan bahwa setiap pilihan pastoral yang diambil harus berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan umat sesuai dengan keadaan zamannya.

Data: Gambaran umat

Data umat adalah realitas faktual dan aktual yang ada di tengah-tengah umat yang memberikan gambaran pasti mengenai situasi beserta potensi yang dimiliki oleh umat di setiap paroki. Pastoral berbasis data dirasa penting untuk mengetahui ”realitas” umat yang ada di wilayah paroki dan keuskupan.

Jika data umat yang ada terkumpulkan dengan baik, dapat diharapkan bahwa pelayanan pastoral dapat “dikemas” dengan suatu basis yang cukup jelas, sehingga pastoral yang dijalankan itu tidak menempatkan kepentingan umat sebagai obyek tambahan dari kepentingan-kepentingan lainnya, tetapi sebaliknya, sebagai subyek, sebagai hal yang pokok.

Uskup Philip
Uskup Keuskupan Timiki Mgr. John Philip Saklil bersama umat Paroki Kosambi Baru, Jakarta. (Mathias Hariyadi)

Bicara soal data, memang banyak hal bisa jadi data: apakah itu data soal potensi umat, aspirasi umat, dan keresahan umat. Namun, hal ini tergantung apakah ada kesadaran yang sama akan pentingnya data, baik di kalangan umat, Pastor Paroki dan Dewan Paroki. Dari data yang terkumpul, kita seharusnya dapat menjawab sejumlah pertanyaan yang muncul, misalnya apakah jumlah umat Katolik mengalami pertumbuhan secara signifikan?

Apakah rasio antara umat dan biarawan/wati sudah mencukupi? Apakah ada kecenderungan keluarga Katolik tidak memilih sekolah Katolik sebagai pilihan untuk memberikan pendidikan kepada anak-anaknya? Apakah rumah sakit Katolik yang ada masih menjadi pilihan terbaik bagi masyarakat?

Memang, data mentah ini masih harus diperiksa lebih jauh, apakah sungguh akurat atau fiktif? Untuk itu proses pengumpulan data serta metode yang dipergunakan harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, sehingga output yang dihasilkan dari pengumpulan data dapat diterima kebenarannya.

Sesudah terkumpul, data itu harus diverifikasi kebenarannya, diolah dan diinterpretasikan, sehingga dapat dipergunakan sebagaimana mestinya, misalnya dijadikan sebagai pijakan dalam perumusan kebijakan atau program pastoral.

Sebaliknya, bila data yang terkumpul itu tidak diolah, masih bersifat sebagai data mentah (raw data) maka data itu tidak akan memberikan arti apa-apa, sehingga tidak dapat dipergunakan untuk penyusunan kebijakan atau program pastoral bagi umat. Selama ini kita telah melakukan pendataan umat secara rutin (setahun sekali) untuk keperluan laporan tahunan ke Roma dan ke Universitas Atmajaya.

Data yang terkumpul itu, kiranya cukup memberikan gambaran mengenai keadaan umat di masing-masing paroki, baik menyangkut pertambahannya, prevalensi jenis perkawinan yang terjadi dalam setahun maupun data-data lain, seperti jumlah baptisan bayi, baptisan dewasa beserta perpindahan agama yang terjadi di kalangan umat Katolik.

Uskup Tanjungkarang Mgr Yohanes Harun Yuwono. (Mathias Hariyadi)

Memang harus diakui, bahwa data yang terkumpul itu masih sederhana; walau demikian, data-data itu dapat dijadikan sebagai pijakan dalam merumuskan sebuah kebijakan atau program pastoral di suatu paroki atau keuskupan.

Sebagai contoh, data yang terkumpul dari suatu paroki menunjukkan bahwa tingkat perkawinan beda agama menduduki peringkat pertama dibandingkan dengan jenis perkawinan lainnya (Kat-Katolik dan Katolik- non baptis Katolik). Data ini dapat dijadikan sebagai masukan dalam menyusun sebuah program pastoral pendampingan perkawinan beda agama sebagai program mendesak mengingat bahaya iman yang mengancam pihak Katolik bila pendampingan semacam itu tidak diberikan.

Dari sisi lain, data yang sama dapat mengarah kepada perlunya perumusan program pendampingan kaum muda dengan memperbanyak frekuensi perjumpaan antar sesama kaum muda Katolik, sehingga dari perjumpaan ini dapat diharapkan akan menumbuhkan benih-benih cinta yang pada gilirannya bermuara kepada perkawinan sesama Katolik.

Yang hendak dikatakan adalah kesadaran akan data, mulai dari merumuskan data, apa yang hendak didapat, proses pengumpulan data, proses verifikasi data, dan proses interpretasi data, adalah suatu hal yang harus dilakukan secara serius untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Bila proses pengumpulan, proses verikfikasi dan proses interpretasi data tidak berjalan dengan baik, maka output yang dihasilkan pasti tidak akan memberikan gambaran yang sesungguhnya berkaitan dengan situasi umat yang menjadi “obyek” dari penelitian yang dilakukan.

Di sinilah pentingnya keberadaan lembaga Litbang (penelitian dan pengembangan), baik pada tingkat paroki, keuskupan maupun nasional yang secara khusus bertugas untuk mengadakan penelitian, mendata umat, memverifikasi dan menginterpretasikan data.

Dari pengolahan data yang dilakukan akan didapat gambaran yang kurang lebih lengkap mengenai situasi umat, misalnya: sumber daya manusia, kekuatan ekonomi, kelompok umur mayoritas umat, dll. Misalnya, dari data yang terkumpul dan terolah ditemukan bahwa mayoritas umat berada dalam rentang umur 15-25 tahun. Lebih lanjut, data ini dapat memberikan gambaran bahwa golongan terbesar umat adalah anak muda yang masih duduk di bangku sekolah, baik pada tingkat SMA maupun Perguruan Tinggi.

Data yang tersaji ini, dapat diinterpretasikan (sekurang-kurangnya) dalam dua hal: (1). Dari sisi ekonomi, kelompok terbesar ini belum dapat memberikan kontribusi (dalam hal ekonomi) yang berarti bagi paroki, karena masih berada pada tahap pendidikan, sehingga kekuatan ekonomi umat justru berada pada kelompok yang sudah bekerja (25-56 tahun) yang komposisi jumlahnya lebih kecil daripada kelompok anak muda. (2).

Keberadaan anak muda sebagai kelompok terbesar membawa implikasi pastoral yang khusus, yakni perlunya merancang atau mengemas pastoral kaum muda yang mampu menjawab harapan dan kerinduan generasi muda akan sebuah program pendampingan yang bersifat komprehensif dan menyeluruh.

Ini adalah salah satu contoh, bagaimana sebuah data yang sudah dikumpulkan dan diolah dapat diinterpretasikan dan selanjutknya dituangkan kedalam sebuah kebijakan atau program pastoral, sehingga kebijakan atau program pastoral yang dibuat tidak didasarkan pada sebuah pengandaian atau pada selera/minat pribadi yang kerap berakibat kepada penggantian program pastoral, manakala terjadi pergantian Pastor Paroki; tetapi pada sebuah data yang sudah teruji kebenarannya.

Dengan pola pastoral berbasis data, program-program akan tetap berjalan dan berlanjut, walau terjadi pergantian Pastor, sebab program dibuat atau disusun bukan berdasarkan pada selera atau minat pribadi pastor paroki, tetapi berdasar pada data yang ditemukan di tengah-tengah umat. Data sebagai suatu realitas faktual, dapat digunakan oleh siapa pun yang menjadi pimpinan Paroki atau Keuskupan. (Baca juga: Dasar Keterlibatan Umat dalam Karya Pastoral (3)

Dengan pendasaran pada data-data yang tersedia, tentu program-program pastoral yang dibuat diharapkan akan lebih mampu menjawab persoalan yang dialami oleh umat, sehingga karya pastoral Gereja menjadi berdaya guna dan berdaya pikat bagi umat dan masyarakat luas.

Pastoral berbasis data: Pastoral baru?

Dalam beberapa tahun terakhir ini, ramai didiskusikan, baik pada tingkat Keuksupan maupun Tarekat mengenai Pastoral berbasis data. Hal ini tentu saja menggairahkan banyak pihak yang terlibat secara langsung dalam bidang pastoral: Uskup, para Pastor, kaum awam dan para pemangku kepentingan lainnya untuk mempelajari secara bersama, sehingga diperoleh pemahaman yang sama.

Sesungguhnya, metode berpastoral berbasis data sudah berkembang cukup lama, hanya saja karena tidak didiskusikan secara luas, sehingga terkesan sebagai sesuatu yang baru.

IMG_9965
Umat katolik dalam sebuah perayaan iman (Mathias Hariyadi)

Mengapa berbasis data? Banyak fakta dan gejala menunjukkan bahwa kebanyakan para petugas pastoral (baca para Pastor) bekerja melayani umat atau menjalankan reksa pastoral berdasarkan asumsi, selera dan tidak berdasarkan pada data dan fakta yang ditemukan di tengah-tengah umat. Akibat langsung dari pola pastoral semacam ini, bahwa penggantian pastor paroki membawa serta perubahan dalam cara berpastoral di paroki yang bersangkutan, sehingga kesinambungan program tidak pernah terjadi.

Model pastoral semacam ini, tentu rentan terhadap pola tambal sulam dan irama mana suka tanpa suatu pendasaran yang solid serta sasaran tujuan yang jelas.

Oleh karena itu, metode pastoral berbasis data ini patut dipelajari dan dipraktikkan di tiap-tiap Keuskupan dan Paroki. Tetapi di atas semua metode itu, kita harus memiliki konsep yang sama tentang pastoral. Apa itu berpastoral? Dengan konsepsi yang sama, maka penerapan metode pastoral yang dipilih akan dapat berjalan dengan baik.

Kredit foto: Ilustrasi (Mathias Hariyadi)