Beranda BERITA Profil Seminari Menengah Indonesia Regio Sulawesi – Ambon – Papua (2)

Profil Seminari Menengah Indonesia Regio Sulawesi – Ambon – Papua (2)

Seminari Menengah Santo Fransiskus Xaverius Kakaskasen Keuskupan Manado/Foto: brainfransiscosupit.blogspot.com

Nomen est Omen, Nama dan Makna

Selain karena alasan historis nama Fransiskus Xaverius, pelindung karya misi Gereja, para seminaris diharapkan memiliki semangat misioner seperti St. Fransiskus Xaverius. Semangat yang berkobar-kobar dan pantang mundur, tetapi juga penuh penyerahan diri kepada kehendak Yesus, Sang Gembala dan Imam Agung.

Sejarah dan Perkembangan

Pada mulanya Seminari Santo Fransiskus Xaverius didirikan di desa Woloan pada 16 Januari 1928, tetapi pada tahun 1937 dipindahkan ke Kakaskasen hingga sekarang. Seminari ini didirikan oleh Pastor Hendricus Croonen, MSC.

Didirikannya Seminari Xaverius sebenarnya dilatari oleh situasi kekurangan tenaga imam. Padahal kala itu potensi umat dinilai ada, dibuktikan dengan adanya satu sekolah guru di Woloan.

Seminari Santo Fransiskus Xaverius berkembang di sekitar dua perang besar, yaitu perang dunia II dan PERMESTA. Pengrusakan , internirisasi para pastor dan pengungsian para seminaris sangat mewarnai perkembangan seminari.

Pada tanggal 17 Agustus 1919, karya misi di Sulawesi di serahterimakan dari Tarekat Yesuit kepada Tarekat Misinaris Hati Kudus Yesus (MSC), tepatnya pada tanggal 19 April 1921. Kala itu ada enam imam Yesuit diganti oleh enam imam MSC. Dari keenam imam ini, muncullah pastor Hendricus Croonen sebagai pendorong dan pendiri Seminari Menengah Keuskupan Manado.

Kisah awalnya bermula dari Pastor Croonen sebagai penjaga dan pembina asrama HIS (Sekolah Pribumi berbahasa Belanda), yang didirikan sejak 1 Juni 1922. Dari antara murid-murid HIS ini, beliau berharap dapat menemukan seorang yang dapat dibimbing ke arah imamat. Namun calon tersebut meninggal dunia karena jatuh dari pohon semasa liburannya. Tapi peristiwa ini tidak membuat pastor Croonen putus-asa. Pastor Croonen terus berusaha mencari murid-murid Seminari yang pertama, Dengan amat teliti murid-murid tersebut diseleksi. Lalu, pada tanggal 16 Januari 1928 Seminari diberkati, dihadiri oleh para pastor dan bruder masa itu.

Gedung Seminari yang pertama ialah gedung Kweekschool yang pada waktu itu sudah menjadi Nromaalschool (Sekolah Pendidikan Guru). Gedung tersebut sebenarnya sudah tidak layak lagi digunakan namun tidak ada pilihan lain lagi. Tingkatan kelas seminari direncanakan dimulai dengan Probatorium (tingkat persiapan) dan dilanjutkan dengan kelas Sexta, Quinta, Quarta, Tertia, Poesis dan Rhetorica.

Meningat pada waktu itu seminari kekurangan tenaga pengajar, maka penerimaan murid hanya dilaksanakan setiap jangka waktu dua tahun. Pada bulan Agustus 1929, mulailah Seminari dengan murid-muridnya yang pertama. Karena tingkat pengetahuan para murid ini dianggap cukup, maka mereka langsung duduk di tingkat Sexta. Da, sejak waktu itu pelajaran di Seminari dapat dilangsungkan. Dalam bulan Desember 1933, didirikanlah Sidang Akademi Albertina, yang merupakan sala satu cara peningkatan ilmu pengetahuan para Semianris. tahun 1934-1935 merupakan tahun untuk tingkat Rhetorica yang pertama.

Dengan adanya tingkat rhetorica ini sebagai tingkat terakhir pendidikan di Seminari Menengah, muncullah persoalan yang baru, yakni bagaimana nasib mereka kemudian? Di manakah mereka harus melanjutkan studi filsafatnya? Persoalan ini akhirnya terjawab dengan disewaanya sebuah rumah milik keluarga Boseke selama satu tahun. Di rumah ini, para Seminaris melanjutkan studi filsafat untuk ilmu rhetorica. Rektor pertamanya ialah Pastor C. de bruyn.

BACA JUGA: Profil Seminari Menengah Indonesia Regio Sulawesi-Ambon-Papua (1)

Sebagai lembaga pembinaan, Seminari Menengah Xaverius memiliki visi mempersiapkan calon-calon imam yang semakin dewasa, seimbang dan integratif dalam kesehatan dan kekudusan, ilmu pengetahuan dan amor pastoralis,s erta tahan uji dalam menghadapi berbagai tuntutan karena perubahan zaman sedemikian cepatnya.

Sedangkan, misi seminari adalah menciptakan iklim formasi yang kondusif bagi para seminaris melalui pembinaan rohani yang terarah, pengembangan kedisiplinan yang tehas, serta pendidikan dan latihan yang terkoordinir serta terintegrasi baik di sekolah maupun di asrama.

Sumber: Buku Profil Seminari Menengah Indonesia Regio Sulawesi-Ambon-Papua Komisi Seminari KWI