Home KWI Sehati-Sejiwa Berbagi Sukacita

Sehati-Sejiwa Berbagi Sukacita

Pilar Gereja Perdana, komsoskam.com

Sarasa Sasukma

Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, OSC

Uskup Bandung

 

TEMA Sinode Keuskupan Bandung adalah “Sehati Sejiwa Berbagi Sukacita.” Tema ini di-Sunda-kan menjadi Sarasa Sasukma Ngawedar Rasa Guligah. Sarasa yang sebenarnya berarti berperasaan mengandung makna sehati. Sasukma berarti sejiwa. Sarasa Sasukma yang mengganti sehati sejiwa bisa juga dipahami sebagai seperasaan dan sepikiran serta secita-cita dan setujuan. Dengan singkat, sarasa sasukma bisa diartikan sehidup-semati. Di situlah ada kehidupan yang silih asih, silih asah, silih asuh. Orang-orang yang sehati sejiwa akan saling meningkatkan kualitas hidup dengan cara saling mengingatkan dan menajamkan pikiran, serta akan saling memelihara, membimbing, dan mengasuh. Orang-orang yang sarasa sasukma akan peduli satu sama lain. Di situlah juga akan ditemukan sukacita yang bukan hanya dinikmati oleh diri sendiri, tetapi juga mau dibagikan kepada sesama.

Dalam Regula (Aturan Hidup) Komunitas yang ditulis tahun 397, Santo Agustinus menekankan pentingnya hidup sarasa sasukma dalam pencarian Allah. Santo Agustinus mengajak para anggota komunitasnya untuk “cor unum et anima una ad Deum”; untuk sehati sejiwa dalam perjalanan menuju Allah (Regula No.9). Ia memahami komunitas, yaitu sebagai kebersamaan hidup orang beriman, sebagai tempat untuk bertemu Yesus hingga orang mengalami kehadiran Allah dalam perjumpaan dengan sesama dan dalam persekutuan dengan umat. Komunitas itu dihidupi dengan semangat kebersamaan dan keterbukaan religius. Segalanya dihayati dan dijalankan seperasaan dan sepikiran dengan tujuan yang sama menuju Allah. “Maka, hiduplah kamu semua sehati-sejiwa dan hormatilah Allah dalam dirimu satu sama lain, karena kamu masing-masing telah menjadi baitnya’ (Regula No. 9). Hidup yang sehati-sejiwa ini menjadi kekuatan komunitas beriman yang telah dihidupi Gereja sejak awal.

Hidup sarasa sasukma menjadi identitas Gereja Perdana. “Adapun kumpulan orang yang telah percaya itu, mereka sehati-sejiwa, dan tidak seorangpun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama” (Kis 4:32). Inilah yang menjadi sumber dan akar perkembangan Gereja. Sejak awal Gereja telah hidup sehati-sejiwa. Perjalanan sejarahnya menunjukkan semangat sarasa sasukma ini sesuai dengan masa dan tempatnya. Secara lebih lengkap kehidupan Gereja yang sarasa sasukma dapat ditemukan dalam tiga perikop (Kis 2:42-47; 4:32-37; 5:12-16). Di sana tampaklah bahwa orang-orang yang percaya pada Tuhan berkumpul sehati-sejiwa di Bait Allah: bertekun dalam ajaran para rasul, berdoa dalam persekutuan, berhimpun dalam ekaristi (memecah roti), berbela-rasa dalam kesejahteraan, serta membagi dan menerima segala kebutuhan sesuai dengan keperluannya masing-masing.

Setelah berkumpul dalam Gereja pusat, mereka menyebar ke Gereja Lokal dan berhimpun dalam komunitas basis dengan memecah roti secara bergilir, makan bersama dengan tulus sambil memuji Allah, hidup dalam kasih karunia, memberi kesaksian tentang kebangkitan Tuhan, serta melakukan banyak tanda dan mujizat dengan melakukan penyembuhan dan pengusiran roh jahat. Buah dari hidup sarasa sasukma ini adalah mereka hidup sejahtera di mana tak ada satu pun anggota yang berkekurangan; mereka disukai banyak orang di mana banyak orang akhirnya tertarik; dan Tuhan menambah jumlah mereka sehingga makin hari makin banyak orang yang percaya kepada Tuhan. Melalui kehidupan Gereja yang sehati-sejiwa ini banyak orang diselamatkan dan Tuhan dimuliakan.

Buah-buah itulah yang juga diharapkan muncul di Gereja Keuskupan Bandung. Melalui Sinode 2015, kita mau mengevaluasi diri berkaitan dengan apa yang telah dihidupi selama 83 tahun, apa yang kita idam-idamkan di masa datang. Adanya, banyaknya, dan besarnya buah-buah Gereja Perdana yang muncul di Keuskupan Bandung saat ini ditentukan oleh sejauh mana semangat Gereja sehati-sejiwa itu sungguh dihidupi oleh Gereja Keuskupan Bandung.

Agar dapat menghasilkan buah, gereja perlu sehati-sejiwa terlebih dahulu dengan Yesus Kristus, Sang Kepala Tubuh Mistik. Gereja harus “diinjili” terlebih dahulu agar apa yang dikatakan, dilakukan, dan dihidupi adalah apa yang dikehendaki oleh Sang Kepala. Gereja bukanlah sekedar organisasi professional atau institusi sosial belaka yang berkutat pada aktivitas oraganisatoris dan kegiatan sosial. Gereja adalah kumpulan orang beriman akan yesus Kristus.

Gereja adalah persekutuan murid-murid Tuhan yang hidupnya mengikuti Yesus. “Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu; sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu” (Yoh 13:13-15). Karenanya, Gereja mutlak memikirkan apa yang dipikirkan oleh Yesus; melakukan apa yang dikerjakan Yesus; dan menghidupi apa yang dikehendaki Yesus. Apakah segala kebaikan dan pencapaian yang kita lakukan selama ini sungguh merupakan apa yang dikehendaki Allah? Jangan sampai kita ditegur seperti Yesus menghardik Petrus” “Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia” (Mat 16:23).

Sarasa sasukma semestinya muncul secara konkret dalam empat pilar Gereja, yaitu persaudaraan (koinonia), perayaan liturgy (liturgia), pewartaan (kerugma), dan pelayanan (diakonia) yang dihidupi dengan semangat rela berkurban. Dalam persaudaraan, kita diundang untuk mengusahakan kesejahteraan bersama sehingga tak ada yang berkekurangan. Dalam perayaan liturgi, kita dipanggil untuk merangkul setiap umat untuk dapat merayakan ekaristi, melakukan doa pribadi, dan mewujudkan aktivitas spiritual lain. Dalam pewartaan, kita diutus untuk terlibat aktif dalam pewartaan sukacita Injil seperti yang diberitakan Yesus. Dalam pelayanan, kita ditugasi untuk membawa perubahan kehidupan baik secara intern pada umat maupun secara ekstern pada masyarakat.

Akhirnya, dalam menghidupi semangat sarasa sasukma, kita ditantang bagaimana dengan sehati-sejiwa kita rela berkorban demi terciptanya koinonia, liturgia, kerugma, dan diakonia seperti dihidupi Gereja Perdana sesuai dengan konteks Keuskupan Bandung.***

 

Kredit Foto: Pilar Gereja Perdana, komsoskam.com