Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) selalu menjadi momen penting bagi Gereja Katolik Indonesia. Sejak pertama kali diadakan pada 1995, SAGKI menjadi ruang refleksi bagi umat Katolik. Untuk membaca tanda-tanda zaman dan membarui arah pastoral Gereja. Jelang SAGKI 2025, yang akan digelar 3–7 November 2025 di Hotel Mercure Ancol, Jakarta, Gereja kembali menegaskan semangat kebersamaan itu. Dalam sebuah tema besar: “Berjalan Bersama Sebagai Peziarah Pengharapan: Menjadi Gereja Sinodal yang Misioner untuk Perdamaian.”
Sebelum membahas mengenai SAGKI 2025, mari kita susuri kembali perjalanan Sidang Agung Gereka Katolik di masa-masa sebelumnya supaya kita paham pergerakan roh yang menyertainya.
Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia 1995: Tonggak Refleksi dan Keterlibatan Umat
Dalam kurun waktu 25 tahun sejak diselenggarakannya Pertemuan Nasional Umat Katolik Indonesia pada tahun 1970, masyarakat maupun umat Katolik mengalami perubahan yang sangat cepat. Perubahan sosial, politik, dan budaya menuntut Gereja untuk kembali merefleksikan kehadirannya di tengah bangsa.
Proses panjang menuju Sidang Agung dimulai dari serangkaian sidang Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) sejak tahun 1991, yang akhirnya bermuara pada pelaksanaan Sidang Agung KWI bersama Umat Katolik Indonesia pada tahun 1995. Pertemuan nasional ini juga dimaksudkan sebagai bagian dari peringatan Pesta Emas Kemerdekaan Republik Indonesia, dan diselenggarakan di Wisma BKKBN, Halim Perdanakusuma, Jakarta, pada tanggal 28 Oktober–2 November 1995.
Tema besar Sidang Agung 1995 adalah: “Mewujudkan Refleksi dan Proyeksi Keterlibatan Umat dalam Sejarah Bangsa.”
Melalui tema ini, Gereja Katolik Indonesia diajak untuk menegaskan kembali perannya sebagai bagian integral dari perjalanan bangsa—tidak hanya merefleksikan pengalaman masa lalu, tetapi juga memproyeksikan langkah-langkah nyata bagi keterlibatan umat dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya Indonesia.
Dalam proses Sidang Agung tersebut, para Bapak Uskup bersama umat Katolik dari seluruh Indonesia berhasil merumuskan sebuah pedoman bersama tentang keterlibatan umat dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Hasil pertemuan ini kemudian dihimpun dalam sebuah dokumen penting berjudul Arah Dasar Gereja Katolik Indonesia, yang menjadi acuan pastoral bagi Gereja di tanah air.
Walaupun naskah tersebut disusun berdasarkan gagasan para Uskup, proses penyusunannya melibatkan ribuan umat Katolik dari berbagai keuskupan. Karena itu, dokumen ini dapat disebut sebagai pedoman umat, yang kemudian diterbitkan dalam buku berjudul Pedoman Gereja Katolik Indonesia.
Buku tersebut juga memuat refleksi umat Katolik mengenai keterlibatan mereka dalam masyarakat, sebagaimana dibahas dalam Sidang Agung KWI–Umat Katolik 1995, yang menyinggung berbagai persoalan aktual yang bermakna bagi kehidupan Gereja Katolik Indonesia—baik sebagai komunitas iman maupun sebagai bagian dari bangsa yang terus berjuang mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bersama.
Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia – SAGKI 2000
Dalam rangka merayakan Yubileum Agung Tahun 2000 dan menyongsong milenium ketiga, Gereja Katolik Indonesia menyelenggarakan Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2000. Sidang ini diadakan di Wisma Kinasih, Caringin, Bogor (Keuskupan Bogor) pada tanggal 1–5 November 2000.
Pertemuan tersebut dihadiri oleh 381 utusan umat Katolik dari seluruh keuskupan di Indonesia, yang terdiri atas para Uskup, imam, biarawan-biarawati, serta kaum awam sebagai kelompok peserta terbesar.
Tema yang diangkat dalam SAGKI 2000 adalah: “Memberdayakan Komunitas Basis Menuju Indonesia Baru”
Tema ini mencerminkan komitmen Gereja untuk menegaskan kembali peran komunitas basis sebagai jantung kehidupan Gereja yang mendengarkan, melayani, dan berakar dalam realitas masyarakat. Hasil dari pertemuan ini kemudian dirangkum dalam naskah pastoral berjudul Gereja yang Mendengarkan.
SAGKI 2000 menegaskan pentingnya pengembangan komunitas-komunitas basis agar menjadi cara dan sarana yang lebih efektif untuk menghadirkan Kerajaan Allah di tengah dunia. Komunitas basis diharapkan menjadi wadah pertumbuhan iman sekaligus sarana keterlibatan sosial, tempat umat Katolik membangun solidaritas, menumbuhkan keadilan, dan berkontribusi dalam menciptakan masyarakat yang adil, sejahtera, demokratis, dan manusiawi.
Selain menghasilkan refleksi pastoral tentang peran Gereja dan umat dalam masyarakat, Sidang Tahunan KWI Tahun 2000 juga menyepakati sejumlah penyesuaian kelembagaan agar pelayanan pastoral Gereja semakin efektif. Beberapa keputusan penting yang diambil antara lain:
- Yayasan KAWALI diubah menjadi Perkumpulan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).
- Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) disempurnakan menjadi Komisi Keadilan dan Perdamaian (KKP).
- Sekretariat Pelayanan Pastoral Migran dan Perantau (SPPMP) diubah menjadi Komisi Migran dan Perantau (KMP).
Perubahan-perubahan ini mencerminkan semangat pembaruan internal Gereja, sejalan dengan semangat Yubileum Agung 2000 yang mengajak seluruh umat untuk memperbarui hidup iman dan karya pelayanan demi mewujudkan Gereja yang semakin relevan dan solider dengan kehidupan bangsa.
SAGKI 2005 – “Bangkit dan Bergeraklah! Gereja Membentuk Keadaban Publik Baru Bangsa”
Pada SAGKI 2005, fokus tema bergeser, berbunyi “Bangkit dan Bergeraklah : Gereja Membentuk Keadaban Publik Baru bagi Bangsa”. Keprihatinan bangsa selalu menjadi keprihatinan Gereja. Dalam semangat kepedulian itulah Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2005 diselenggarakan di Caringin, Bogor, pada 16–20 November 2005. Mengusung tema “Bangkit dan Bergeraklah,” SAGKI 2005 diharapkan mampu menumbuhkan kembali semangat Gereja untuk turut ambil bagian dalam mengatasi berbagai keprihatinan bangsa.
Tema ini lahir dari konteks sosial yang penuh luka dan kekerasan. Saat itu, bangsa Indonesia masih dirundung duka akibat tragedi kemanusiaan yang terjadi di Poso dan peristiwa pengeboman di Bali pada 1 Oktober 2005. Dalam suasana seperti itu, Gereja diajak untuk tetap menyalakan harapan: semoga kebangkitan Kristus menjadi kekuatan yang meneguhkan umat agar bangkit bersama membangun masa depan yang lebih baik.
SAGKI 2005 dihadiri oleh 343 utusan dari seluruh keuskupan di Indonesia. Para peserta terdiri atas 111 perempuan dan 232 laki-laki, yang mencakup unsur awam (211 orang), imam, biarawan-biarawati (96 orang), serta para uskup (36 orang). Kehadiran mereka mencerminkan miniatur Gereja Katolik Indonesia yang hidup dan dinamis.
Menariknya, wajah muda Gereja tampak kuat dalam perhelatan ini. Partisipasi kaum muda menunjukkan semangat baru yang menghidupkan Gereja dan menandai proses berkelanjutan sejak SAGKI pertama pada tahun 1995. Sidang Agung perdana itu telah menetapkan Pedoman Gereja Katolik Indonesia—hasil refleksi atas ajaran sosial Gereja dan pelaksanaannya di tengah masyarakat.
Pedoman tersebut menegaskan panggilan umat Katolik untuk terlibat aktif dalam perjuangan bangsa mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Melalui SAGKI 2000, semangat itu semakin diteguhkan dengan dorongan agar umat mengembangkan kesadaran akan jati diri dan peran mereka sebagai orang beriman yang membangun serta memberdayakan komunitas basis.
SAGKI 2005 menjadi kelanjutan perjalanan itu—sebuah langkah bersama untuk membangun Gereja yang terus bangkit dan bergerak, hadir di tengah dunia sebagai tanda harapan dan pembawa kasih Kristus bagi bangsa Indonesia.
SAGKI 2010 : Gereja yang Hidup dalam Kelimpahan Bersama Kristus
Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) tahun 2010 diselenggarakan di Wisma Kinasih, Caringin – Bogor, Jawa Barat, pada tanggal 1–5 November 2010. Sidang ini dihadiri oleh 385 peserta dari 37 keuskupan di seluruh Indonesia, yang terdiri atas para uskup, imam, biarawan-biarawati, serta sejumlah wakil umat awam. Tema yang diangkat adalah “Ia Datang Supaya Semua Memperoleh Hidup dalam Kelimpahan” (bdk. Yoh 10:10). Tema ini menegaskan panggilan Gereja untuk mewujudkan hidup yang berkelimpahan dalam relasi yang akrab dengan Kristus Sang Gembala, yang melindungi, menuntun, dan memberi jaminan kehidupan sejati bagi manusia serta seluruh ciptaan.
Inspirasi utama SAGKI 2010 datang dari Kongres Misi Asia I di Chiang Mai, Thailand, tahun 2006, yang bertema “Telling the Story of Jesus in Asia.” Semangat ini mengajak Gereja untuk kembali kepada cara Yesus sendiri dalam mewartakan Kerajaan Allah, yakni dengan bercerita dan menghadirkan pengalaman iman secara naratif. Karena itu, metode narasi (kisah) menjadi pendekatan utama dalam keseluruhan proses SAGKI. Melalui narasi publik, sharing kelompok, pleno, dan refleksi teologis, para peserta saling berbagi pengalaman iman yang lahir dari kehidupan nyata, dalam keberagaman budaya, agama, dan pergumulan hidup kaum kecil. Pendekatan ini membantu Gereja menegaskan kembali jati dirinya sebagai Gereja yang mendengarkan dan berjalan bersama umat dalam realitas sosial yang konkret.
Salah satu hasil penting dari SAGKI 2010 adalah penegasan kembali bahwa keberagaman budaya Indonesia merupakan kekayaan yang harus disyukuri dan dijaga. Di dalam kebudayaan manusia, Allah hadir dan disapa dalam pelbagai nama serta dimengerti melalui orang dan unsur-unsur budaya yang mencintai kehidupan. Gereja menghormati kebudayaan sebagai ruang di mana karya Allah dapat dikenali, dan dalam terang Injil Gereja memperbarui dirinya sekaligus memperkaya kebudayaan dengan nilai-nilai kasih dan kebenaran. Dengan demikian, perjumpaan antara Injil dan budaya bukanlah benturan, melainkan dialog yang saling meneguhkan dan memperdalam pemahaman iman umat.
Dalam konteks hubungan antaragama, para peserta menyadari pentingnya Gereja untuk keluar dari dirinya sendiri dan menjumpai sesama yang berbeda iman. Seperti Yesus yang berani menyeberangi batas-batas agama dan budaya, Gereja dipanggil untuk berdialog secara terbuka dengan pemeluk agama dan penganut kepercayaan lain. Melalui dialog ini, Gereja menemukan nilai-nilai injili yang dihidupi oleh orang lain dan pada saat yang sama memperkaya pemahamannya sendiri tentang Kristus. Dialog antariman bukanlah ancaman bagi iman Katolik, melainkan kesempatan untuk meneguhkan gambaran Yesus yang penuh kasih, pengampun, dan raja damai. Dengan kerendahan hati, Gereja diajak untuk belajar dari orang-orang yang beriman dan berkehendak baik, serta bekerja sama dalam aksi-aksi kemanusiaan demi terwujudnya perdamaian.
SAGKI 2010 juga menyoroti dengan kuat realitas kemiskinan dan peminggiran sosial. Para peserta menyadari bahwa kemiskinan bukan sekadar keadaan ekonomi, tetapi juga bentuk ketidakadilan yang melukai martabat manusia sebagai citra Allah. Gereja melihat wajah Kristus yang menderita dalam diri kaum miskin, terluka, dan terabaikan. Karena itu, Gereja wajib meneladani Yesus yang hadir bagi orang kecil, menjadi penolong, pembebas, dan pembawa harapan. Solidaritas dengan kaum miskin diwujudkan melalui keberpihakan, tindakan berbagi, pemberdayaan, serta keterlibatan aktif dalam memperbaiki struktur sosial yang tidak adil. Dalam semangat itu pula Gereja menegaskan tanggung jawabnya untuk memelihara lingkungan hidup sebagai bagian dari karya penyelamatan Allah atas seluruh ciptaan.
Hasil refleksi panjang ini kemudian dirumuskan dalam sejumlah komitmen pastoral yang menjadi arah perutusan Gereja ke depan. Gereja Katolik Indonesia bertekad untuk melanjutkan dialog dengan kebudayaan setempat agar semakin mampu mengenali dan menghadirkan wajah Kristus dalam konteks budaya Indonesia yang majemuk. Gereja juga ingin mengembangkan model pewartaan dan katekese naratif yang kreatif dan kontekstual, termasuk bagi anak-anak, dengan memanfaatkan kekayaan seni dan tradisi lokal. Komitmen lain yang ditegaskan adalah memperkuat dialog antaragama dan kerja sama lintas iman dalam bidang kemanusiaan, menghidupi spiritualitas yang memerdekakan melalui pertobatan hati dan aksi solidaritas, serta mendampingi kelompok-kelompok yang terpinggirkan seperti petani, nelayan, buruh, dan masyarakat kecil lainnya.
Pada akhirnya, SAGKI 2010 meneguhkan keyakinan bahwa kesaksian Gereja untuk menghadirkan Kristus di tengah masyarakat hanya dapat diwujudkan secara efektif melalui komunitas-komunitas basis gerejawi (KBG) yang hidup, terbuka, dan solider. Di dalam komunitas basis, umat belajar untuk menjadi saksi iman yang nyata dalam kehidupan sehari-hari, saling mendengarkan, dan saling meneguhkan. Gereja percaya bahwa Roh Kudus senantiasa membimbing perjalanan ini, menuntun umat untuk menemukan wajah Kristus dalam keberagaman budaya, dalam dialog dengan sesama beriman, dan dalam perjuangan bersama mereka yang miskin dan terabaikan. Dengan keyakinan yang sama, Gereja menyerahkan seluruh upaya ini kepada penyertaan dan doa Bunda Maria, yang senantiasa mendampingi Gereja dalam perutusannya untuk membawa hidup yang berkelimpahan bagi semua.
SAGKI IV 2015 : Panggilan dan Perutusan Keluarga
Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) keempat yang diselenggarakan pada 2015 merupakan kelanjutan refleksi pastoral dari SAGKI sebelumnya—tahun 2000, 2005, dan 2010—yang masing-masing menegaskan peran Gereja dalam konteks masyarakat Indonesia yang terus berubah. Jika SAGKI 2000 berfokus pada pemberdayaan komunitas basis, SAGKI 2005 mengangkat semangat “Bangkit dan Bergeraklah” untuk membentuk keadaban publik baru bangsa, dan SAGKI 2010 menyoroti panggilan Gereja untuk menghadirkan kehidupan berkelimpahan dalam Kristus, maka SAGKI 2015 memberi perhatian khusus pada keluarga Katolik sebagai Gereja kecil (Ecclesia domestica).
Tema “Keluarga Katolik: Sukacita Injil – Panggilan dan Perutusan Keluarga dalam Gereja dan Masyarakat Indonesia yang Majemuk” sejalan dengan arah Gereja universal yang pada waktu itu juga menaruh perhatian besar terhadap pastoral keluarga. Gereja sedunia tengah menjalani proses refleksi yang dimulai dengan Sinode Luar Biasa tentang Keluarga di Roma (Oktober 2014) bertema “Tantangan-Tantangan Keluarga dalam Konteks Evangelisasi”, dilanjutkan dengan Pertemuan Keluarga Sedunia di Philadelphia (September 2015) bertema “Love Is Our Mission: The Family Fully Alive,” dan kemudian Sinode Biasa tentang Keluarga (Oktober 2015) dengan tema “Panggilan dan Perutusan Keluarga dalam Gereja dan Dunia Zaman Ini.” Dalam konteks yang sama, SAGKI 2015 menjadi momentum bagi Gereja Indonesia untuk meneguhkan kembali peran keluarga sebagai pusat pertumbuhan iman, kasih, dan kesaksian Injil di tengah masyarakat.
Keluarga disebut sebagai Gereja kecil yang menumbuhkan benih iman dan sukacita Injil, baik bagi anggotanya sendiri maupun bagi masyarakat di sekitarnya. Dalam terang ajaran Gereja, terutama Familiaris Consortio (1981) dan Evangelii Gaudium (2013), keluarga dipahami bukan hanya sebagai institusi sosial, tetapi sebagai tempat hidupnya kasih Allah yang nyata. Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa dalam rencana Allah, keluarga menemukan jati diri sekaligus perutusannya: menjadi tanda perjanjian kasih Allah dengan manusia. Sementara Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium (no. 66) mengingatkan bahwa keluarga masa kini tengah menghadapi krisis budaya yang serius akibat lunturnya nilai-nilai kebersamaan dan komitmen.
Dalam konteks Indonesia, krisis keluarga tidak lepas dari pengaruh multikulturalisme, globalisasi, dan de-tradisionalisasi nilai-nilai luhur. Banyak keluarga kehilangan tradisi baik yang dahulu menjaga keharmonisan dan kebersamaan. Tantangan seperti perceraian, tekanan ekonomi, dan kurangnya kedewasaan dalam relasi suami-istri turut melemahkan kesatuan keluarga. Di tengah situasi itu, SAGKI 2015 mengajak keluarga Katolik untuk meneguhkan panggilannya sebagai saksi kasih Allah yang hidup, menjadi “garam dan terang dunia” dengan memancarkan sukacita Injil dalam kesetiaan, kasih yang tulus, dan solidaritas terhadap sesama.
Sukacita Injil yang dimaksud bukan sekadar emosi gembira, melainkan buah Roh Kudus sebagaimana disebut dalam Galatia 5:22 — kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kebaikan, dan kesetiaan. Keluarga Katolik dikatakan memancarkan sukacita Injil ketika mendasarkan hidupnya pada Kristus, menjumpai-Nya dalam keseharian, dan membiarkan diri dibimbing oleh Roh Kudus. Sukacita Injil tampak ketika pasangan suami istri menemukan keindahan dalam kehidupan perkawinan, tetap setia dalam menghadapi krisis, dan menemukan kekuatan baru dalam iman.
SAGKI 2015 menegaskan bahwa evangelisasi merupakan tanggung jawab bersama seluruh umat Allah, dan tanpa kesaksian sukacita dari keluarga, pewartaan Gereja akan kehilangan makna. Karena itu, keluarga dipanggil untuk memberi kesaksian nyata melalui kehidupan sehari-hari yang mencerminkan kasih, pengampunan, pengorbanan, dan pengharapan.
Tujuan utama SAGKI 2015 adalah agar keluarga Katolik semakin menghayati jati diri, spiritualitas, serta perutusannya di dalam Gereja dan masyarakat; semakin menyadari tantangan konkret yang dihadapi; dan semakin bersikap misioner di tengah dunia modern yang plural. Kegiatan SAGKI dilaksanakan pada 2–6 November 2015 di Via Renata, Puncak Bogor, di bawah koordinasi Komisi Keluarga Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) bersama Sekretariat Jenderal KWI.
Sebelum pelaksanaan sidang, umat di seluruh Indonesia diajak untuk berpartisipasi dalam pra-SAGKI, melalui bahan refleksi dan doa bersama mengenai tema keluarga, yang dikirim ke keuskupan, komunitas religius, dan lembaga pendidikan pastoral. Dengan demikian, semangat dan doa seluruh umat turut mengalir dalam peristiwa Sidang Agung ini. Setelah SAGKI selesai, hasil refleksi dan rekomendasi pastoral disosialisasikan ke seluruh keuskupan untuk menjadi arah pastoral keluarga selama lima tahun ke depan.
Sebagai tindak lanjut, SAGKI 2015 mendorong pengembangan pembinaan pastoral keluarga berjenjang, mulai dari remaja, kaum muda, pasangan yang sedang mempersiapkan perkawinan, hingga pendampingan pasca-pernikahan dan penanganan kasus-kasus khusus. Tujuannya agar setiap keluarga Katolik dapat terus bertumbuh dalam iman, menyalakan sukacita Injil di tengah dunia, dan menjadi saksi kasih Allah di masyarakat Indonesia yang majemuk.
Penutup
Perjalanan panjang Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) sejak tahun 1995 hingga 2015 memperlihatkan dinamika Roh Kudus yang terus bekerja dalam kehidupan Gereja di Indonesia. Dari satu masa ke masa berikutnya, SAGKI menjadi ruang perjumpaan dan pembelajaran bersama bagi seluruh unsur Gereja — para uskup, imam, biarawan-biarawati, serta umat awam — untuk mendengarkan, berdialog, dan membaca tanda-tanda zaman.
Setiap periode memiliki konteks dan pergumulannya sendiri. SAGKI 1995 menandai kesadaran baru akan pentingnya keterlibatan umat dalam sejarah bangsa. SAGKI 2000 menegaskan kembali komunitas basis sebagai jantung kehidupan Gereja. SAGKI 2005 mengajak umat untuk bangkit dan membentuk keadaban publik baru di tengah situasi sosial yang penuh luka. SAGKI 2010 membawa Gereja pada pengalaman iman yang naratif — belajar mengenali Kristus dalam keberagaman budaya dan penderitaan kaum kecil. Sementara SAGKI 2015 mengarahkan pandangan Gereja kepada keluarga sebagai Gereja kecil, tempat iman, kasih, dan sukacita Injil bertumbuh serta menjadi sumber kesaksian di dunia modern yang kompleks.
Dari keseluruhan perjalanan itu, tampak bahwa SAGKI bukan sekadar sidang besar yang berlangsung lima tahunan, melainkan proses ziarah rohani Gereja Katolik Indonesia — perjalanan iman yang senantiasa mencari kehendak Allah dalam sejarah bangsa dan dunia. Setiap SAGKI menjadi tonggak pembaruan, meneguhkan panggilan Gereja untuk menjadi terang dan garam bagi masyarakat, serta menghadirkan wajah Kristus yang penuh kasih dan pengharapan.
Kini, ketika Gereja menapaki jalan menuju SAGKI 2025, seluruh pengalaman historis itu menjadi fondasi dan inspirasi. Gereja dipanggil untuk terus berjalan bersama sebagai peziarah pengharapan — membangun sinodalitas yang sejati, memperdalam semangat misioner, dan menjadi pembawa damai di tengah bangsa yang plural. SAGKI 2025 bukan sekadar kelanjutan administratif, tetapi kelanjutan spiritual dari perjalanan Gereja yang selalu diperbaharui oleh Roh Kudus.
Sebagaimana ditegaskan dalam Evangelii Gaudium (Paus Fransiskus, 2013), “Sukacita Injil memenuhi hati dan hidup semua orang yang menjumpai Yesus.” Itulah semangat yang terus dihidupi oleh Gereja Katolik Indonesia: berjalan bersama, mendengarkan satu sama lain, dan mewartakan kasih Kristus dalam sukacita, pengharapan, serta pelayanan nyata bagi sesama.
Dengan demikian, SAGKI menjadi bukan sekadar peristiwa, tetapi ziarah iman — perjalanan Gereja yang terus berupaya memahami zaman, menanggapi tantangan, dan menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah di tengah dunia yang terus berubah.

Mantan Jesuit, Pendiri Sesawi.Net, Jurnalis Senior dan Anggota Badan Pengurus Komsos KWI


