Eksortasi Apostolik Dilexi te Paus Leo XIV:
Komentar Yuridis-Teologis dan Pastoral
RD. Rikardus Jehaut
Pendahuluan
Pada hari Gereja merayakan Santo Fransiskus dari Assisi, Paus Leo XIV menandatangani sebuah dokumen penting yang menjadi teks magisterialnya yang pertama, Eksortasi Apostolik Dilexi te (Aku telah mengasihimu) tentang kasih terhadap kaum miskin (https://www.vatican.va/content/leo-xiv/en/apost_exhortations/documents/20251004-dilexi-te.html). Dokumen ini dipublikasikan pada tanggal 9 Oktober 2025, hari di mana Gereja memperingati Santo Yohanes Henry Newman, seorang teolog kontemporer, yang menunjukkan pengabdian luar biasa kepada kaum miskin di kota Birmingham, Inggris, dan yang dinyatakan sebagai pujangga Gereja pada tanggal 1 November yang akan datang (https://ewtn.it/2025/09/28/papa-leone-xiv-san-john-henry-newman-sara-proclamato-dottore-della-chiesa-il-1-novembre/).
Menilik nama dokumen ini, terangkum pesan terdalam yang hendak disampaikan Paus kepada Gereja terkait kepeduliaan terhadap kaum miskin, yang berakar pada sabda Sang Guru dari Nazareth: ”Ketika Aku dan kamu memberi Aku makan; Aku haus dan kamu memberi Aku minum; Aku seorang asing dan kamu memberi Aku tumpangan; Aku telanjang dan kamu memberi Aku pakaian; Aku sakit dan kamu melawat Aku; Aku di dalam penjara dan kamu mengunjungi Aku (Mat 25:35-44)”.
Dokumen ini berbentuk Eksortasi Apostolik. Dalam terminologi yuridis, eksortasi apostolik adalah sebuah dokumen kepausan yang bertujuan untuk mendorong, menasehati dan memperkuat umat beriman dalam bidang iman, moral atau pastoral. Dokumen ini lebih bersifat praktis-aplikatif. Fungsinya adalah untuk memberikan arahan pastoral, menafsirkan prinsip hukum dan dogma Gereja ke dalam praktik pastoral konkrit. Dalam hierarki dokumen kepausan, bobot yuridisnya berada di bawah ensiklik dan konstitusi apostolik. Sekalipun tidak bersifat infalibel, dokumen ini mengikat secara moral dan pastoral dan karena itu umat beriman wajib memberikan obsequium religiosum atau ketaatan religius akal budi dan kehendak. Mengingat kebaruan dan arti penting Eksortasi Apostolik dari Paus Leo XIV ini penulis terdorong untuk memberikan komentar dari sudut pandang yuridis-teologis dan pastoral.
Kesinambungan Pemikiran Magisterial
Di dalam Gereja, lazim terjadi bahwa pada masa awal kepemimpinannya, Paus mengambil dan menyelesaikan draft dokumen yang telah mulai dikerjakan oleh pendahulunya. Para Paus secara eksplisit menghubungkan tindakan dan ajaran mereka dengan apa yang telah dilakukan dan dikatakan oleh para pendahulu mereka. Hal ini merupakan bagian dari cara untuk mengekspresikan kontinuitas pemikiran dan kesinambungan komunitas iman yang hidup dalam sejarah.
Paus Benediktus XVI, misalnya, pada masa awal pemerintahannya di tahun 2006, meninjau kembali beberapa aspek pemikiran brilian Paus Yohanes Paulus II yang kemudian dituangkan dalam Ensiklik Deus Caritas est (Allah adalah kasih), dokumen pertama yang ditulisnya. Demikian pun Paus Fransiskus. Pada tahun 2013 ia mengeluarkan Ensiklik Lumen Fidei (Terang iman), sebuah dokumen yang hampir selesai dikerjakan oleh Paus Benediktus XVI sebelum pengunduran dirinya.
Hal yang sama terjadi dengan Eksortasi Apostolik Dilexi te. Paus Fransiskus telah menggarap teks ini selama bulan-bulan terakhir masa kepausannya, menempatkan dokumen ini dalam kelanjutannya dengan Ensiklik Dilexit nos yang berfokus pada devosi kepada kasih manusiawi dan ilahi dari Hati Yesus. Paus Fransiskus berusaha menyoroti hubungan antara akar spiritual dan komitmen sosial: dari pengalaman kasih Allah bagi manusia menuju kesadaran akan kasih Allah bagi sesama dan bagaimana hal tersebut menentukan perilaku terhadap sesama. Dengan menerbitkan kata-kata terakhir Paus Fransiskus yang belum selesai, Paus Leo XIV melalui Dilexi te seolah-olah hendak menyampaikan wasiat magisterial pendahulunya kepada semua umat beriman tentang pentingnya menghargai relasi kasih Kristus dan panggilan-Nya untuk mengasihi kaum miskin.
Struktur dan Isi Dokumen: Tinjauan Umum
Secara struktural, Eksortasi Apostolik Delixti te disusun mengikuti pola khas dokumen kepausan, yang dimulai dengan pengantar dan dilanjutkan dengan uraian ajaran serta penutup yang bersifat ajakan pastoral. Dokumen ini terdiri dari lima bab dan terbagi dalam 121 paragraf bernomor, disusun secara sistematis dengan pokok-pokok pikiran yang mengalir logis dari satu bagian ke bagian lainnya. Di dalamnya jelas terlihat kejernihan logika berpikir, kedalaman argumen teologis yang bertumpu pada Kitab Suci dan Tradisi, pemikiran Konsili Vatikan II, dan lain sebagainya, yang menjadi fondasi seluruh refleksi magisterial Paus Leo XIV.
Pengantar (n.1-3)
Dalam pengantar singkatnya, Paus Leo merefleksikan judul Eksortasi tersebut, “Aku Telah Mengasihi Kamu,” dan menekankan bahwa kutipan dari Kitab Wahyu (Wahyu 3:9) merupakan sebuah deklarasi kasih Tuhan bagi komunitas Kristen awal yang sedang berjuang. Beliau menyatakan bahwa frasa tersebut juga mencerminkan misteri yang tak habis-habisnya yang direnungkan Paus Fransiskus dalam ensiklik Dilexit nos tentang kasih manusiawi dan ilahi dari hati Yesus Kristus.
Mengingat bahwa sebagian besar draft dokumen ini berasal dari Paus Fransiskus, Paus Leo XIV secara eksplisit menyatakan bahwa ia hendak menjadikan dokumen ini miliknya sendiri—dengan menambahkan beberapa refleksi—dan menerbitkannya di awal masa kepausannya. Dasar pertimbangannya adalah bahwa ia memiliki keinginan yang sama dengan pendahulunya, Paus Fransiskus, yakni agar semua umat Kristiani menghargai hubungan erat antara kasih Kristus dan nasihat-Nya untuk peduli terhadap kaum miskin.
Bagian Pertama: Beberapa Kata Esensial (n. 4-15)
Dalam bagian ini, Paus Leo XIV menekankan bahwa cinta kepada Allah tak terpisahkan dari cinta kepada kaum miskin. Paus berkeyakinan bahwa pilihan untuk mengutamakan kaum miskin (the preferential choice for the poor) dapat menjadi sumber pembaruan luar biasa bagi Gereja dan masyarakat jika kita manusia dapat membebaskan diri sikap egois dan membuka telinga terhadap seruan mereka. Kasih kepada Allah tidak terpisahkan dari kasih kepada orang miskin. Dalam diri mereka, Yesus sendiri hadir dan berbicara. Melayani yang lemah bukanlah sekadar tindakan kemanusiaan, melainkan cara nyata untuk menjumpai Tuhan.
Mendengar seruan orang miskin berarti masuk ke dalam hati Allah sendiri, sebaliknya, jika kita menutup telinga terhadap jeritan mereka, kita menjauh dari hati Allah dan menanggung kesalahan di hadapan-Nya. Dalam wajah mereka yang menderita, kita melihat Kristus sendiri. Kemiskinan memiliki banyak wajah: bukan hanya kekurangan materi, melainkan juga kemiskinan sosial, moral, spiritual, budaya dan kebebasan.
Paus mengingatkan umat Katolik agar tidak berpuas diri dalam melayani kaum miskin, dengan merujuk pada kematian Alan Kurdi, seorang bocah lelaki Suriah berusia dua tahun yang difoto tengkurap di sebuah pantai di Turki pada tahun 2015. Beliau mengatakan foto tersebut menimbulkan kehebohan, tetapi sayangnya peristiwa serupa menjadi semakin tidak relevan dan dianggap sebagai berita pinggiran. Paus berpendapat bahwa kemajuan dalam upaya global melawan kemiskinan terkadang dibesar-besarkan, dan menyatakan bahwa hal ini disebabkan oleh fakta bahwa kemiskinan diukur menggunakan kriteria masa lalu yang tidak sesuai dengan realitas saat ini.
Hal yang juga disesalkan adalah bahwa sebagian umat kristiani terpengaruh oleh ideologi sekular dan pandangan keliru yang mengabaikan atau mengejek karya-karya amal, seakan-akan karya-karya tersebut merupakan obsesi dari segelintir orang dan bukan inti dari misi Gereja. Persis disinilah perlunya membaca ulang Injil dan meresapi penekanannya pada kepedulian terhadap kaum miskin.
Bagian kedua: Allah memilih orang miskin (n. 16-34).
Dalam bagian ini, Paus menjelaskan bagaimana Gereja tiba pada pemahaman bahwa Allah memiliki sebuah pilihan istimewa (a preferential option) bagi kaum miskin. Istilah tersebut tidak menunjukkan eksklusivitas atau diskriminasi terhadap kelompok lain, melainkan menggarisbawahi tindakan Allah yang digerakan oleh belas kasih terhadap kemiskinan dan kelemahan manusia.
Selanjutnya, beliau mengeksplorasi tema kasih Allah terhadap kaum miskin dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Allah ditampilkan sebagai sahabat dan pembebas kaum miskin, Dia yang mendengarkan seruan orang miskin dan melakukan intervensi untuk membebaskan mereka.
Cinta Allah yang istimewa terhadap kaum miskin mencapai kepenuhannya dalam diri Yesus dari Nazaret. Melalui inkarnasi, Ia mengosongkan diri-Nya dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia. Kemiskinan-Nya sungguh radikal. Injil memperlihatkan bagaimana kemiskinan menandai setiap aspek kehidupan Yesus. Ia mengalami pengucilan yang sama seperti yang dialami kaum miskin, kaum terbuang dari masyarakat. Ia adalah perwujudan privilegium pauperum. Ia menampilkan diri-Nya kepada dunia bukan hanya sebagai Mesias yang miskin, tetapi juga sebagai Mesias dari dan untuk kaum miskin. Ia adalah seorang pengajar yang berkeliling, yang kemiskinan dan ketidak-menetapannya menjadi tanda hubungan-Nya yang mendalam dengan Bapa. Hal ini juga menjadi syarat bagi mereka yang ingin mengikuti-Nya di jalan kemuridan: ketidaklekatan terhadap harta benda, kekayaan, dan jaminan duniawi menjadi tanda nyata penyerahan diri kepada Allah dan pemeliharaan-Nya.
Dalam diri Yesus, Allah menunjukkan preferensinya bagi kaum miskin. Sabda pengharapan dan pembebasan Tuhan ditujukan terutama kepada mereka. Karena itu, bahkan dalam kemiskinan atau kelemahan mereka, tak seorang pun merasa ditinggalkan. Bagi Gereja hal ini membawa konsekuensi penting: jika ingin menjadi Gereja Kristus, haruslah menjadi Gereja Sabda Bahagia, yang memberi ruang bagi kaum kecil dan berjalan bersama kaum miskin dalam kemiskinan, tempat di mana kaum miskin memiliki tempat istimewa.
Maka menjadi jelaslah bahwa iman kepada Kristus, yang menjadi miskin, dan selalu dekat dengan orang-orang miskin dan terbuang, adalah dasar dari kepeduliaan kita terhadap pengembangan integral dari anggota masyarakat yang paling terabaikan. Dan bahwa berbagai karya belas kasih dianjurkan sebagai tanda keasliaan ibadah: sambil memuji Allah, kita membuka diri terhadap transformasi Roh Kudus sehingga dapat menjadi gambar Kristus yang berbelas kasih terhadap yang paling lemah.
Bagian ketiga: Gereja bagi Kaum Miskin (n. 35-81)
Paus Leo XIV membuka bagian ini dengan mengenang bagaimana Paus Fransiskus, tak lama setelah terpilih, menyatakan keinginannya akan Gereja yang miskin dan untuk kaum miskin (a Church which is poor and for the poor). Paus merefleksikan bagaimana Gereja telah melayani kaum miskin selama dua ribuan tahun terakhir, menyoroti kesaksian diakon Santo Laurensius, serta kesaksian para Bapa Gereja, termasuk Santo Agustinus dari Hippo, yang mengilhami pembentukan ordo Agustinian.
Ia juga mengenang bagaimana umat Katolik telah memenuhi kebutuhan kaum miskin, melalui perawatan orang sakit, pelayanan monastik, pembebasan tahanan, pendidikan, dan pendampingan para migran. Dalam Dokumen ini disoroti para perempuan yang telah memberikan pelayanan luar biasa kepada kaum miskin dalam ingatan orang-orang yang masih hidup seperti Santa Teresa dari Kalkuta, Santa Dulce dari Kaum Miskin Brasil, dan Suster Emmanuelle dari Mesir.
Dalam dokumen ini juga disinggung tentang karya dari berbagai gerakan kerakyatan, organisasi-organisasi akar rumput yang dipimpin oleh kaum awam, khususnya di Amerika Latin. Gerakan kerakyatan yang berani melawan akar penyebab struktural kemiskinan dan kesenjangan. Berbagai gerakan rakyat mengajak kita untuk mengatasi gagasan bahwa kebijakan sosial hanyalah kebijakan untuk kaum miskin, tetapi tidak pernah bersama mereka dan tidak pernah dari mereka, apalagi menjadi bagian dari suatu proyek yang dapat mempersatukan kembali umat manusia. Jika para politisi dan profesional mengabaikan kaum miskin maka demokrasi berubah menjadi sekedar slogan dan kehilangan watak representatifnya karena mengabaikan rakyat dalam perjuangan mereka sehari-hari. Hal yang sama juga harus dikatakan mengenai lembaga-lembaga Gereja.
Bagian keempat: Sebuah Sejarah Yang Berlanjut (n. 82-102)
Paus Leo menelusuri asal usul dan perkembangan ajaran sosial Gereja, menggambarkan Magisterium selama 150 tahun terakhir sebagai sebuah perbendaharaan ajaran penting tentang kaum miskin. Secara khusus, ia menyoroti ensiklik Rerum Novarum Paus Leo XIII yang dipandang sebagai teks fundamental doktrin sosial Gereja dan ensiklik Mater et Magistra dari Paus Yohanes XXIII.
Selain itu, ia menyinggung tentang kontribusi para pendahulunya, di antaranya ensiklik Caritas in Veritate dari Paus Benediktus XVI. Ia juga mengamati bagaimana Paus Fransiskus telah membawa ke dalam Magisterium pemikiran ulang tentang katolisitas Amerika Latin terkait hubungan antara Gereja dan kaum miskin. Sebagai mantan misionaris Peru, ia sangat bersyukur atas proses penegasan rohani pada level gerejawi ini. Beliau menekankan dua aspek yang menjadi kontribusi Amerika Latin, yakni gagasan tentang struktur dosa —pola ketidakadilan yang mengakar— dan gagasan tentang pentingnya memandang kaum miskin sebagai pribadi yang memiliki kemampuan bertindak, dan bukan sekadar menjadi pihak penerima belas kasih.
Ketika merefleksikan struktur dosa, Paus Leo teringat akan kalimat Paus Fransiskus yang menggugah, yakni kediktatoran ekonomi yang membunuh (the dictatorship of an economy that kills). Menurutnya banyak sekali teori yang mencoba untuk membenarkan keadaan saat ini atau menjelaskan bahwa pemikiran ekonomi mengharuskan kita menunggu kekuatan pasar yang tak terlihat untuk menyelesaikan segalanya. Namun, martabat setiap manusia harus dihormati hari ini dan bukan besok, dan bahwa kemiskinan ekstrem yang dialami semua orang yang martabatnya dirampas seharusnya membebani hati nurani kita secara terus menerus.
Paus Leo mendesak umat Katolik untuk tanpa lelah mengidentifikasi dan mengecam ketidakadilan struktural, bahkan dengan risiko terlihat bodoh atau naif. Dengan cara pandang yang mungkin terasa mengejutkan, ia memperkuat argumennya dengan merujuk pada kritik terkenal dari Kongregasi Ajaran Iman Vatikan tahun 1984 terhadap teologi pembebasan yang ia gambarkan sebagai sebuah dokumen yang pada mulanya tidak diterima dengan baik oleh semua orang. Dengan mengutip hal tersebut, ia hendak menegaskan bahwa para pembela ortodoksi doktrinal harus secara aktif menunjukkan iman melalui pelayanan kepada kaum miskin.
Bagian kelima: Sebuah Tantangan Permanen (n. 103-121)
Pada bagian ini, Paus Leo XIV menegaskan bahwa kepedulian terhadap kaum miskin merupakan tugas penting bagi umat Katolik. Beliau menegaskan bahwa pada hakikatnya, Gereja bersolidaritas dengan kaum miskin dan semua yang dianggap terpinggirkan dari masyarakat. Di lain pihak, ia juga menyayangkan bahwa terkadang gerakan atau kelompok Kristiani yang muncul kurang atau bahkan tidak peduli terhadap kesejahteraan umum, khususnya berkaitan dengan perlindungan dan kemajuan anggotanya yang paling rentan dan kurang beruntung.
Ia juga menggarisbawahi kewajiban memberi sedekah, yang menurutnya jarang dilakukan, diremehkan, dan tidak disukai, bahkan oleh orang kristiani. Ia berpendapat bahwa cara terbaik untuk membantu orang yang kurang beruntung adalah dengan membantu mereka mendapatkan pekerjaan yang baik. Ketika hal itu tidak memungkinkan, maka bersedekah menjadi suatu keharusan. Praktik ini, tentu saja, tidak membebaskan pihak berwenang dari tanggung jawab mereka terhadap kaum miskin, tetapi sekurang-kurangnya memberi kita kesempatan untuk berhenti sejenak dan menatap mata kaum miskin, menyentuh mereka, dan berbagi sesuatu dengan mereka. Gereja yang dibutuhkan dunia dewasa ini adalah Gereja yang tidak membatasi kasih, yang tidak mengenal musuh untuk dilawan, melainkan hanya mengenal pria dan wanita untuk dikasihi.
Relevansi Kontekstual
Eksortasi Apostolik Delixi Te memiliki relevansi kontekstual bagi kehidupan Gereja masa kini, baik dari segi teologis, yuridis, maupun pastoral. Dari segi teologis, Eksortasi ini menegaskan kembali dasar iman Gereja yang berakar pada kasih Kristus bagi umat manusia, terutama mereka yang miskin dan tersingkir. Kemiskinan bukan sekadar tema sosial, melainkan menjadi locus theologicus, tempat Allah menyatakan diri. Paus Leo XIV mengingatkan bahwa misi Gereja bukan sekadar melestarikan struktur atau tradisi, melainkan menghadirkan wajah Allah yang penuh belas kasih. Secara teologis, Dokumen ini menggemakan panggilan untuk meneladani kenosis Kristus – Allah yang merendahkan diri demi keselamatan manusia – dan menjadikan cinta kasih sebagai kriteria utama dalam kehidupan Gereja.
Dari segi yuridis, Delixi Te mengandung implikasi penting bagi pemahaman tentang tanggung jawab Gereja dalam tatatan hukum dan kehidupan sosial. Dokumen ini menegaskan bahwa hukum Gereja harus melayani keselamatan jiwa-jiwa (salus animarum), bukan sekadar menegakkan ketertiban eksternal. Semangat kasih yang dikedepankan Paus Leo XIV menuntut agar norma-norma hukum Gereja diterapkan dengan memperhatikan martabat manusia, terutama mereka yang miskin dan menderita, sehingga hukum menjadi sarana pastoral dan bukan sekadar perangkat yuridis formal.
Dari segi pastoral, Dokumen ini menjadi seruan profetis yang menggugah kembali kesadaran Gereja akan jati dirinya sebaga ’ecclesia pauperum’, Gereja kaum miskin. Kemiskinan bukan sekadar salah satu bidang perhatian pastoral, melainkan bagian dari hakekat Gereja itu sendiri yang dipanggil untuk meneladani Kristus yang miskin dan bersolider dengan kaum miskin. Dengan menempatkan kaum miskin pada jantung kehidupan Gereja, Paus Leo XIV seakan-akan hendak menggemakan kembali kata-kata terkenal Paus Yohanes XIII sebelum pembukaan Konsili Vatikan II: menjadi Gereja semua orang, terutama Gereja kaum miskin (bdk. Acta Apostolicae Sedis, 54, 1962, hlm. 682). Paus Leo mengajak seluruh umat beriman, terutama para gembala, untuk memperbarui cara pandang dan tindakan pastoral agar semakin berakar pada solidaritas, belarasa, dan kehadiran nyata di tengah kaum miskin. Dalam konteks Gereja masa kini, pesan ini menuntut tindakan konkret: pembaruan gaya hidup, komitmen dan keperpihakan yang nyata terhadap kaum miskin.
Penutup
Eksortasi Apostolik Delixi Te merupakan teks magisterial pertama dari Paus Leo XIV yang berfokus pada kasih terhadap kaum miskin. Sebuah dokumen programatik yang menegaskan kembali semangat pembaruan Konsili Vatikan II dalam wajah Gereja masa kini. Melalui dokumen ini, Paus Leo XIV menempatkan kasih sebagai poros utama kehidupan Gereja dan dasar bagi seluruh pelayanan pastoral di tengah dunia modern.
Dengan membaca dokumen ini, kita dapat melihat arah dan jiwa kepemimpinan Paus Leo XIV. Seperti Paus Fransiskus pendahulunya, ia menghendaki Gereja yang tidak hanya harus berbicara pembelaan atau keberpihakan, tetapi menjadi Gereja yang miskin, yang hidup dalam semangat kemiskinan Injili, yang menyatu dengan penderitaan umat dan menjadi tanda kehadiran Kristus. Dokumen ini berisikan pokok-pokok pikiran yang menarik dan menantang dan karena itu perlu dibaca oleh semua warga Gereja.
Doktor Hukum Gereja lulusan Universitas Kepausan Urbaniana Roma dan anggota Canon Law Society of Australia and New Zealand. Sekarang ini bekerja sebagai Hakim pada Tribunal Keuskupan Ruteng dan Ketua Sekolah Tinggi Pastoral Santu Sirilus Ruteng.


