Rm Bobby Steven MSF (kiri), Lisa A Riyanto, Prof. Eko Indrajit (kanan). Foto: Abdi

Malang — Di tengah derasnya arus informasi digital yang kerap menciptakan polarisasi dan keterasingan dalam relasi, keluarga kembali ditegaskan sebagai ruang pertama dan utama bagi komunikasi otentik. Hal ini mengemuka dalam Seminar Keluarga yang digelar sebagai bagian dari rangkaian Perayaan Hari Komunikasi Sosial Nasional (PKSN) ke-12 di STFT Widya Sasana, Keuskupan Malang, Jumat (13/6/2025).

Dengan mengusung tema “Menjadi Komunikator Harapan: Komunikasi Otentik Keluarga dalam Dunia Kosmetik Digital”, seminar ini menghadirkan tiga narasumber dari lintas bidang: Romo Dr. Bobby Steven MSF, pengajar Kitab Suci dari Universitas Sanata Dharma; Prof. Richardus Eko Indrajit, pakar teknologi informasi dan pendidikan; serta Lisa A. Riyanto, praktisi komunikasi dan penyanyi.

Acara berlangsung hangat dan reflektif, dihadiri peserta dari berbagai keuskupan yang tergabung dalam jaringan Komunikasi Sosial Gereja Katolik Indonesia dan pasangan suami istri. Bagi banyak peserta, seminar ini menjadi ruang berbagi yang segar dan menyentuh kenyataan hidup berkeluarga di era digital.

Melucuti Agresi, Merawat Harapan

Ketua Komisi Komunikasi Sosial Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap, dalam sambutan pengantar menggarisbawahi urgensi tema tahun ini yang diangkat oleh Paus Fransiskus (alm.): “Bagikanlah dengan lemah lembut harapan yang ada di dalam hatimu.”

Menurut Kornelius, Paus Fransiskus melihat ada situasi serius, bahkan genting, dalam praktik komunikasi dewasa ini, baik di ruang keluarga maupun ruang publik. “Komunikasi kita semakin agresif. Bukan hanya dalam nada tinggi, tapi juga dalam diam. Komunikasi bisa menjadi senjata untuk melukai,” ujarnya.

Ia mencontohkan bagaimana di media sosial, orang saling menyerang dengan kata-kata tajam, menciptakan polarisasi dan kebencian. “Itulah yang dilihat Paus sebagai komunikasi yang tidak sehat, yang bisa merusak dunia. Maka pesan beliau adalah: melucuti agresi, melepaskan ego, dan berbicara dengan lemah lembut,” tegasnya.

Mgr. Kornelius juga mengingatkan bahwa dalam bermedia, manusia cenderung ingin mempromosikan diri dan mencari perhatian. “Tapi kita diajak untuk mewartakan Allah, kebenaran, dan kebaikan dengan sikap rendah hati. Membangun jembatan, bukan tembok—termasuk dalam keluarga,” tambahnya.

Ketulusan Santo Yusuf dan Tantangan Digital

Rm. Bobby Stefan MSF kemudian mengangkat figur Santo Yusuf sebagai teladan utama komunikasi kasih yang otentik. Ia menjelaskan, ketulusan Yusuf dalam menghadapi situasi sulit—seperti niat menceraikan Maria secara diam-diam tanpa mempermalukannya—menjadi cermin sikap dasar dalam membangun relasi sehat.

“Dalam dunia yang mudah mengumbar aib, kita justru diajak belajar dari Yusuf: menahan diri, menjaga martabat, dan menyampaikan kasih dengan keheningan yang bermakna,” ujar Bobby.

Ia juga menyoroti noise digital—banjir informasi dan distraksi yang mengaburkan suara-suara otentik dalam keluarga. Dalam konteks ini, keluarga perlu menjadi ruang mendengar yang otentik dan tempat yang aman untuk berbagi harapan, bukan sekadar ruang bertukar informasi.

Belajar Jadi Teman, Bukan Sekadar Orangtua

Pada sesi kedua, Prof. Eko Indrajit dan Lisa A. Rianto membagikan kisah nyata mereka dalam mendampingi empat anak yang tumbuh di era media sosial. Dengan penuh canda dan kehangatan, mereka mengajak peserta untuk memahami dunia anak bukan dengan penilaian, melainkan dengan pendekatan sebagai sahabat.

“Saya baru bisa bicara dekat dengan anak laki-laki saya saat saya memanggilnya ‘bro’. Ternyata, ketika kita menjadi teman, barulah mereka mempercayai kita sebagai orangtua,” ujar Prof. Eko. Eko bercerita,”Kami pernah menulis pesan WhatsApp penuh kelembutan untuk anak. Jawabannya? Cuma ‘Oke.’ Tapi kami sadar, dalam dunia mereka, ‘oke’ itu bisa berarti ‘terima kasih, aku dengar, aku paham’.”

Lisa menambahkan pentingnya kehadiran yang empatik, terutama saat anak mengalami kesulitan sosial dan emosional. “Kami belajar untuk tidak menyamaratakan anak-anak. Kami harus hadir secara pribadi, bukan hanya secara fisik,” ujarnya. Salah satu kisah paling menyentuh adalah bagaimana mereka mendampingi salah satu anak yang tertutup karena pengalaman perundungan. Dengan pendekatan perlahan dan komunitas digital yang sehat, anak itu pulih dan kini menjadi pribadi yang percaya diri.

Seminar ini menguatkan kembali gagasan bahwa keluarga adalah komunitas harapan. Di tengah budaya komunikasi digital yang cepat, keras, dan sering kali penuh kepalsuan, keluarga justru harus menjadi tempat yang paling otentik dan penuh kelembutan.