Para peserta PKSN ke-12 di Malang berfoto bersama usai drama tari disuguhkan. Foto : Komsos KAM

Dusun Kedungmonggo pagi itu bernafas pelan. Kabut tipis masih menggantung di sela-sela pepohonan ketika barisan kendaraan berhenti perlahan di depan sebuah padepokan, bernama Padepokan Wayang Topeng Malangan Asmorobangun, Sabtu (14/06/2025). Setelah para tamu memasuki area padepokan, dari dalam panggung, suara gamelan terdengar mengalun, menyambut para tamu dengan irama yang seolah-olah telah menunggu mereka sejak lama.

Suara-suara logam dari bonang, saron, dan kenong menyatu dalam komposisi yang terasa sakral. Bukan gegap gempita, melainkan sambutan yang halus namun menggetarkan, menyambut para peserta Perayaan Komunikasi Sosial Nasional (PKSN) ke-12 yang datang dari berbagai penjuru negeri—dari Sumatera, Kalimantan, hingga Papua.

Padepokan tempat mereka berlabuh pagi itu, bukan sekadar ruang kesenian. Ia adalah rumah ingatan, tempat warisan budaya berbicara bukan lewat lisan, melainkan gerak dan getar rasa.

Di pendapa terbuka, pertunjukan dimulai. Lakon  klasik dari kisah Panji seperti Asmarabangun, Raden Gunungsari ditampilkan dalam bentuk Drama Tari. Para penari hadir dengan wajah tertutup topeng kayu yang telah diwariskan lintas generasi.

Tak ada kata. Tapi justru dalam diam itulah makna bermunculan. Ekspresi wajah-wajah kayu yang tampak kaku justru menjadi jendela yang hidup: menyampaikan kesedihan, keberanian, kerinduan, bahkan kritik. Suara gamelan mengiringi dengan irama yang kadang menghentak, kadang senyap. Semua berjalan seperti mantra, menenggelamkan para peserta dalam perenungan yang tak mereka duga.

“Topeng bukan sekadar tutupan wajah,” ujar Tri Handoyo, pemimpin Padepokan Asmorobangun. “Ia adalah jalan untuk membuka apa yang tak bisa diucapkan.” Tri, putra dari almarhum Ki Kartoyo—seniman legendaris Malang—mewarisi semangat ayahnya dalam menjaga dan meneruskan api seni rakyat yang hampir padam dimakan zaman.

Menurutnya, setiap topeng dibuat dengan laku batin. Kayunya dipilih, bentuknya dipahat, lalu diisi makna. “Setiap warna, garis, dan sudut adalah simbol. Kami tak hanya menari. Kami menyampaikan filsafat hidup—tentang cinta, tentang keberanian, dan tentang pengorbanan,” ucapnya.

Romo Jemmy Pantauw, Ketua Panitia PKSN XII, menyebut kunjungan ini sebagai bagian dari panggilan Gereja untuk menyatu dengan denyut budaya lokal. “Komunikasi sosial bukan cuma soal jaringan internet. Ia adalah tentang keterhubungan manusia—dengan sesamanya, dengan budayanya, dan dengan Tuhannya,” ujarnya kepada peserta.

Bagi para peserta yang sehari-hari bekerja dengan perangkat digital—kamera, audio recorder, dan algoritma konten—pengalaman ini bukan sekadar tontonan. Ia menjelma jadi perjumpaan. “Saya merasa, dalam topeng itu, saya melihat diri saya sendiri. Komunikasi yang paling dalam adalah yang tak terdengar,,”ujar salah satu peserta.

Sebagian besar peserta tak ketinggalan mendokumentasikan pertunjukan Topeng Malangan dan mengangkatnya dalam format digital: video pendek, dokumenter, bahkan konten TikTok yang membumikan tradisi kepada generasi muda. “Kami ingin menunjukkan bahwa budaya lokal bukan benda mati di museum, tapi denyut hidup yang bisa bicara dengan cara baru,” kata salah satu pengelola kanal YouTube.

PKSN XII di Malang tak hanya menghadirkan pelatihan atau perjumpaan komunitas. Ia adalah ruang kontemplatif, tempat peserta belajar bahwa menjadi komunikator iman berarti juga menjadi penjaga warisan. Di balik topeng, ada wajah manusia. Di balik tari, ada doa yang bergerak. “Iman kadang menyaru dalam budaya. Bukan untuk menyembunyikan diri, tetapi agar bisa menyapa lebih dalam,”ujar seorang peserta.

Dan dari pendapa kayu itu, diiringi denting terakhir gamelan tambang, pesan itu pun disampaikan: komunikasi terbaik adalah yang tak terasa sebagai komunikasi, melainkan perjumpaan yang mengubah hati.