Malang – “Bagikanlah dengan lemah lembut harapan yang ada di dalam hatimu,” demikian pesan Paus Fransiskus yang menggema kuat dalam Seminar Tarekat Hidup Bakti yang berlangsung pada Kamis, (12/06/2025) di Malang. Seminar yang berlangsung dalam rangkaian Perayaan Hari Komunikasi Sosial Nasional (PKSN) ke-12 ini bukan sekadar ruang reflektif, tetapi ajakan lantang untuk bersikap. Para imam, suster, bruder, dan frater—yang selama ini dikenal dalam keheningan biara—didorong melangkah ke panggung digital untuk menjadi komunikator harapan.

Dibuka dengan presentasi hangat dari Romo Semuel Sirampun, seminar ini sejak awal menyinggung paradoks zaman: internet adalah karunia sekaligus jebakan. “Jangan sampai yang populer itu kita, bukan Kristus,” ucap Romo Semuel, memecah gelak sekaligus menciptakan keheningan. Ia mengingatkan para peserta akan bahaya narsisme rohani, ketika popularitas pribadi menenggelamkan pesan iman.

Ia tidak menolak TikTok, tetapi menggarisbawahi bahwa viralitas bukanlah misi. “Kalau kita berjoget-joget di TikTok, tanyakan: apakah itu mewartakan Kristus atau mewartakan ego kita?” Kritik itu tidak melarang, tetapi menantang: bisa tidak Anda hadir di media sosial sebagai pewarta, bukan penghibur murahan?

Di Antara Rosario dan Hashtag
Selaras dengan suara Gereja universal, Romo Semuel menekankan pentingnya keseimbangan antara kehidupan kontemplatif dan digital. “Kita ini harus tetap Rosario, tetap Kitab Suci, tetap doa. Jangan semua waktu habis untuk live Instagram,” ujarnya.

Paus Fransiskus, kata Romo Semuel, menyebut internet sebagai “karunia Tuhan” tetapi juga mengingatkan akan risiko “polusi mental”. Realitas algoritma yang menciptakan gelembung informasi dan memicu propaganda telah menggerus relasi manusia sejati.

Selanjutnya, Budi Sutejo Darma Oetomo, dosen di Universitas Kristen Duta Wacana, memancing diskusi lebih tajam. “Frater, Suster, apakah Anda ingin dikenal sebagai joget TikTok atau sebagai pewarta hikmat zaman ini?” tanyanya tajam.

Ia mengisahkan pengalamannya mencoba membangun akun media sosial pribadi—yang justru membuat hidupnya terasa seperti “mesin.” Setiap hari membuat konten, menyetujui desain, dan mengatur unggahan, tetapi kehilangan makna. “Kalau tidak ditekuni bersama, personal branding itu bisa jadi perangkap,” ujarnya.

Dalam nada yang tak kalah jenaka dan filosofis, Budi menyebut kehadiran religius di media sosial sebagai “peniup peluit”. Bukan untuk populer, tapi untuk mengingatkan umat yang tersesat di arus konten dangkal. “Kalau lapangan hidup ini tidak ada yang meniup peluit, kita tidak tahu bola keluar atau tidak,” sindirnya.

Konten bukan sekadar estetika. Ia harus punya narasi, pesan, dan niat yang jernih. Seminar ini kemudian bertransformasi menjadi lokakarya kreatif. Para peserta dibagi ke dalam 10 kelompok, masing-masing diberi tantangan membuat konten digital dalam 45 menit—dari video promosi panggilan, podcast, hingga renungan iman.

Beberapa kelompok memilih merekam kisah panggilan, yang lain menyajikan refleksi naratif atas perjumpaan mereka dengan Kristus. Ruang aula menjadi studio dadakan—suster-suster berdiskusi sambil memegang kamera ponsel, frater-frater memoles naskah singkat mereka.

“Bukan seberapa keren videonya, tapi apakah orang bisa merasakan harapan di dalamnya,” ujar Romo Samuel sebelum para peserta menyebar membuat konten.

Etika Digital dan Ruang Publik Beradab
Selanjutnya, Dr. M. Puspitasari, dosen di Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (SKSG UI)  dan pengurus Komisi Komsos KWI, mengambil alih panggung. Ia berbicara tentang urgensi membangun “ruang publik yang berkeadaban.”

“Jangan-jangan kita bukan lagi menyembah Tuhan, tapi menyembah follower dan like,” ujarnya dingin namun menghunjam. Ia mengutip tren “buzzer Katolik” dan memaparkan bahwa hasrat untuk viral sering kali melanggar etika dasar: menyebarkan foto orang sakit tanpa izin, menyajikan berita palsu demi klik.

“Kalau Anda belum siap dengan sumber daya, jangan memaksakan diri membuat akun media sosial. Lebih baik kerja sama dan refleksi,” tegasnya.

Ia menutup sesinya dengan kutipan Paus Fransiskus: “Sebarkanlah budaya peduli, bangunlah jembatan, ceritakan kisah-kisah penuh harapan.”

Di tengah gempuran narasi kebencian dan konten-konten dangkal, seminar ini menyalakan bara: bahwa dunia digital bukan kutuk, melainkan peluang. Bahwa Gereja, lewat para religiusnya, dapat menjadi saksi yang lembut dan terang di tengah layar yang gemerlap.

“Tugas kita bukan menjaring like,” kata seorang peserta, “tapi menjala manusia.”

Dan dari Malang, lahir semangat baru: para pewarta berjubah kini menari di panggung digital. Bukan untuk diri mereka, tapi demi Kristus yang tak pernah berhenti mencintai dunia.