Malang — Dalam dunia yang kian bising oleh berita palsu, ujaran kebencian, dan relasi yang digantikan algoritma, seorang Fransiskan dari Nusa Tenggara Timur berdiri tenang di tengah ratusan guru Katolik dari seluruh Indonesia. Suaranya tidak meninggi, tapi merasuk. Di aula Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya Sasana, Malang, Pater Dr. Vincentius Darmin Mbula, OFM berbicara bukan hanya sebagai pendidik, melainkan pewarta harapan.
“Ruang kelas adalah ruang maha kudus,” katanya pelan namun tegas, Jumat (13/6). “Di sana, tubuh Kristus hadir dalam rupa anak-anak yang dipercayakan kepada kita.”
Pernyataan itu bukan metafora kosong. Bagi Pater Darmin, pendidikan adalah tugas suci yang tak bisa dijalankan setengah hati. Guru bukan hanya pengajar, tetapi imam kehidupan, yang mempersembahkan kasih setiap hari dalam diamnya papan tulis dan gaduhnya lembar soal.
Seminar pendidikan nasional ini menjadi bagian penting dalam rangkaian Perayaan Komunikasi Sosial Nasional (PKSN) ke-12 yang berlangsung di Keuskupan Malang pada 12–15 Juni 2025. Dibuka oleh Ketua Komisi Komunikasi Sosial KWI, Mgr. Kornelius Sipayung, OFMCap, seminar itu menjadi medan refleksi bagi para pendidik dalam menghadapi zaman yang tak lagi mempercayai kebenaran dan relasi manusiawi.
“Pendidikan hanya mengenal dua arah: membebaskan atau menindas,” ujar Uskup Kornelius. Maka guru, katanya, perlu menjadi komunikator pengharapan — menghadirkan keheningan penuh cinta di tengah dunia yang gaduh oleh suara-suara kosong.
Pater Darmin memulai paparannya dengan merujuk pada ajaran Gereja Katolik yang dituangkan dalam deklarasi konsili Gravissimum Educationis dan refleksi pastoral tahun 2015 dari Paus Fransiskus. Dalam dokumen itu ditegaskan bahwa sekolah Katolik dijalankan bukan sekadar dengan sistem, tetapi oleh pribadi-pribadi yang hidup dalam inspirasi Kitab Suci, semangat pedagogi Kristiani, dan pendekatan Emaus — pendekatan yang meneladani Yesus yang berjalan bersama dua murid yang kecewa, mendengarkan keluh kesah mereka, dan perlahan membangkitkan harapan yang nyaris padam.
“Pendidikan sejati,” kata Pater Darmin, “adalah pendidikan yang membuat hati murid kembali berkobar. Guru yang berjalan bersama, bukan yang berdiri di podium memberi perintah.”
Ia menolak pandangan lama yang menjadikan ruang kelas sebagai tempat steril dan menakutkan. “Bukan ruang kuburan,” tegasnya. “Tapi ruang kudus. Karena di sana ada wajah Kristus, dalam diri anak-anak kita.” Itulah sebabnya ia mengkritik keras sekolah-sekolah Katolik yang masih memprioritaskan renovasi pastoran ketimbang kesejahteraan guru atau perbaikan ruang kelas. “Saya lebih rela tidak punya rumah pastoran daripada tidak punya rumah guru,” ujarnya disambut tepuk tangan hadirin.
Dalam pandangannya, guru tak bisa hanya menjadi penyampai kurikulum. Mereka harus menjadi penyembuh yang hadir penuh perhatian, terlebih di tengah generasi muda yang banyak menyimpan luka — akibat keluarga, tekanan sosial, dan dunia digital yang kerap kejam.
“Anak-anak sekarang banyak yang terluka,” ujarnya lirih. “Maka guru harus menjadi penyembuh, bukan penambah luka.”
Dalam komunikasi pendidikan, Pater Darmin mengajak para guru menerapkan prinsip komunikasi tanpa kekerasan (Nonviolent Communication) dari Marshall Rosenberg. Prinsip ini menekankan pentingnya mendengar tanpa menghakimi, jujur mengungkapkan perasaan, mengenali kebutuhan di balik emosi, dan menyampaikan permintaan dengan jelas dan konkret. Tapi di atas semua itu, komunikasi harus lahir dari cinta kasih — bukan romantisme, melainkan kekuatan etis yang mendengarkan, menyembuhkan, dan membebaskan.
Ia juga menggambarkan tantangan zaman ini dengan menyebut tiga gejala utama: dunia pascakebenaran (post-truth), pascakepercayaan (post-trust), dan pascakemanusiaan (post-humanism). Dunia tempat teknologi menggantikan relasi dan orang tak lagi peduli pada fakta. Di tengah situasi itu, ia mengajukan pertanyaan reflektif, “Masihkah guru dibutuhkan? Masihkah dirindukan?”
Jawabannya tegas, “Ya, selama guru hadir dengan hati. Selama guru menjadi pelita harapan di ruang maha kudus: ruang kelas.”
Menurut Pater Darmin, sekolah Katolik tidak diukur dari nilai rapor atau akreditasi, melainkan dari sejauh mana ia mewartakan Injil lewat tindakan kasih, keberpihakan pada yang miskin, dan pembelaan terhadap mereka yang tertinggal.
Ia bahkan mengusulkan agar setiap keuskupan mengeluarkan surat gembala khusus tentang pendidikan setiap 2 Mei, Hari Pendidikan Nasional, dan mengadakan kolekte khusus untuk mendukung pembinaan guru Katolik. Pendidikan, katanya, bukan hanya urusan sekolah, tapi tanggung jawab seluruh Gereja.
Dalam bagian akhir pemaparannya, ia menekankan bahwa seluruh persoalan manusia — dari keluarga, masyarakat, hingga politik — berakar dari komunikasi yang buruk. Maka komunikasi menjadi jantung kehidupan. Ia mengutip Paul Watzlawick, seorang ahli komunikasi relasional: bahwa diam pun adalah pesan, bahwa isi dan relasi tak bisa dipisahkan, dan bahwa konflik sering muncul bukan dari perbedaan isi, tetapi dari penafsiran yang keliru terhadap urutan peristiwa.
Pater Darmin menutup dengan sebuah cerita ringan namun menyentuh. Tentang dua murid SD yang bertengkar hebat karena beda jawaban soal 8 x 3. Salah satu menjawab 21, yang lain 24. Ketika guru masuk, ia menyebut jawaban 21 benar — bukan karena tak tahu matematika, tapi karena ingin menghentikan konflik dan menyelamatkan pertemanan. “Kadang kebenaran harus kita sampaikan dengan kasih, bukan dengan keangkuhan logika,” katanya.
Di tengah tepuk tangan panjang, satu pesan menggantung di udara: bahwa menjadi guru bukan pekerjaan, tapi panggilan — untuk menjadi pembawa damai, pewarta harapan, dan pelayan cinta yang tak henti.

Mantan Jesuit, Pendiri Sesawi.Net, Jurnalis Senior dan Anggota Badan Pengurus Komsos KWI