Beranda KATEKESE Ajaran Gereja Pastor Markus: Bentuk Pengakuan Pemerintah UEA atas Eksistensi Katolik

Pastor Markus: Bentuk Pengakuan Pemerintah UEA atas Eksistensi Katolik

Pastor Markus (dudu mengenakan baju batik) bersama beberapa wartawan katolik (Doc: EDL)

Pastor Markus Solo Kewuta, SVD

Bentuk Pengakuan Pemerintah UEA atas Eksistensi Katolik

 

Kunjungan Paus Fransiskus atas undangan Pemerintah Uni Emirat Arab (3-5/2) mendapat sambutan hangat dunia. Inilah kunjungan Paus yang pertama ke negara ini. Apa makna kunjungan ini baik untuk Gereja Katolik, maupun untuk dunia? Dan mengapa baru pada masa kepemimpinan Paus Fransiskus kunjungan itu terjadi? Juga, apa yang harus dilakukan ke depan agar kunjungan tersebut berfaedah bagi dunia? Berikut wawancara Emanuel Dapa Loka melalui masenger dengan Pastor Dr. Markus Solo Kewuta, SVD, seorang Islamolog asal Flores, Indonesia dan menjabat sebagai Sekretaris Kantor Hubungan Atargama Vatican, Roma:

 Apa makna kunjungan Paus Fransikus ke UEA bagi Gereja dan dunia?

Bagi Gereja, kunjungan ini merupakan sebuah langkah berani yang membahagiakan, di mana Paus Fransiskus, sebagai Kepala Gereja Katolik sedunia, menunjukkan contoh figur kegembalaan sejati menurut teladan Yesus Kristus. Contoh kegembalaan yang demikian sudah sering beliau tegaskan di dalam katekese-katekese, khotbah-khotbah dan  wejangan-wejangan rohaninya, bahwa seorang gembala umat yang sejati harus bisa: pertama, bisa mencium bau kawanannya. Artinya, harus mendekatkan diri dengan umatnya, terutama mereka yang berada di dalam situasi-situasi sulit dan tertekan.

P. Markus Solo, SVD (Doc. EDL)

Gembala yang baik adalah dia yang bisa berada bersama mereka, mengalami nasib mereka, mendengarkan mereka dan mencoba mencari solusi terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi. Kedua, gembala sejati adalah dia yang bisa keluar dari zona kenyamanan dan menemukan kawanan dombanya di wilayah-wilayah periferi. Wilayah periferi yang dimaksud, bukan saja dipaham secara geografis, tetapi juga secara sosial, budaya, agama, dan ekonomi. Intinya, figur gembala atau pemimpin sejati adalah dia yang mampu bersolidaritas dengan mereka yang dia pimpin, dan menunjukkan kedekatannya kepada mereka, baik secara fisik maupun secara rohani.

 Ada makna lain?

Bagi Gereja, kunjungan yang adalah jawaban terhadap undangan otoritas pemerintahan Emirat Arab adalah sebuah bentuk pengakuan Pemerintah Emirat Arab terhadap eksistensi umat Katolik minoritas di negara mereka yang layak diapresiasi dan dipuji. Walaupun kekristenan tidak memiliki jejak sejarah di negara ini, lain halnya dengan Mesir, Irak, Libanon, Israel dan beberapa negara di Afrika utara, pemerintah nampak memberikan signal keterbukaan terhadap kemajemukan agama. Lebih dari itu mengisyaratkan adanya pengakuan terbuka terhadap kehadiran Gereja Katolik di negeri ini. Keterbukaan Emirat Arab ini sungguh selaras dengan perjuangan penerapan nilai-nilai kemanusiaan yang sudah sering diperjuangkan oleh Paus Fransiskus sejak awal pontifikatnya. Beliau tidak pernah lelah menyerukan keadilan sosial, kehidupan bersama yang wajar, rukun dan damai, bebas dari berbagai bentuk diskriminasi dan ketidakadilan. Inilah wujud dan itikad Gereja Katolik yang ingin selalu bekerjasama tanpa canggung bersama orang-orang yang berkehendak baik untuk memajukan dunia secara bersama-sama menuju sebuah masa depan yang lebih baik dan lebih sejahtera.

Kunjungan Paus ini tampaknya mendatangkan apresiasi dan simpatik dari banyak kalangan….

Bagi Gereja, lawatan ini merupakan sebuah bentuk pengakuan eksplisit terhadap integritas moral kepemimpinan Paus Fransiskus. Bukan rahasia bahwa model kepemimpinannya membuat banyak orang merasa terkesan dan simpatik terhadap beliau, juga di berbagai negara Islam. Hal ini tentu saja membangkitkan semangat baru dan rasa percaya diri Gereja yang lebih besar, sekaligus memperkuat keyakinan akan kebenaran iman yang dibawa dan diwartakan oleh beliau atas nama Gereja Katolik sedunia.

Lalu bagi Gereja dan dunia?

Bagi Gereja dan Dunia, misi perdamaian yang dibawa oleh Paus Fransiskus yang berkulminasi pada penandatanganan Deklarasi Bersama tentang Persaudaraan Universal Manusia, merupakan: pertama, sebuah „eye-opener“ (pembuka mata) bagi dunia, bahwa perdamaian adalah sebuah urgensi nyata dan mendesak, yang harus diperjuangkan secara bersama-sama, sama halnya dengan dialog lintas agama yang tidak hanya merupakan sebuah aktivitas „one-way“ (satu arah), tetapi selalu mengandaikan dan menuntut adanya kolaborasi atau partisipasi dua belah pihak. Sesungguhnya perdamaian lintas agama yang sejati, jujur dan ikhlas hanya diraih dengan berpijak di atas nilai-nilai luhur bersama dan universal yang diyakini kebenarannya di dalam agama dan tradisi iman masing-masing. Sudah saatnya semua agama harus bekerjasama dengan mencari nilai-nilai bersama yang mendekatkan mereka, di atasnya mereka membangun sebuah kerjasama untuk membangun masyarakat dan dunia ini.

Kedua, penandatangan Deklarasi Bersama di atas merupakan sebuah „road-map“ (peta jalan atau rencana kerja) dialog lintas agama hari ini dan ke depannya. Perdamaian lintas agama kini mendapat sebuah pendekatan baru (Persaudaraan Universal) yang nampak lebih konkret dan lebih bisa dipraktikan di dalam kehidupan sehari-hari, dan tidak melalui sebuah teori abstrak. Sebetulnya, untuk Gereja Katolik, terminology, “persaudaraan universal“ bukan merupakan sebuah ide baru sama sekali. Sudah sejak masa Konsili Vatikan II, ungkapan itu sudah hangat dibicarakan di dalam sidang akbar itu dan kemudian diratifikasi hingga masuk ke dalam paragraf terakhir dari Dokumen Nostra Aetate (Dewasa Kita), yang adalah satu dari 16 Dokumen resmi Konsili Vatikan II yang menyatakan sikap baru dari Gereja Katolik terhadap umat beragama lain. Sejatinya, perdamaian yang diperjuangkan Gereja Katolik sejak itu, adalah sebuah misi yang pada akhirnya mewujudnyatakan sebuah persaudaraan umat manusia di seantero jagad. Gereja Katolik merasa senang bahwa perjuangan itu kini mendapat dukungan besar dari umat agama Islam yang terwakil melalui Imam Besar Ahmad al-Tayyib dan otoritas Islam yang hadir menjadi saksi penandatanganan Dokumen bersama di atas.

Kalau para pemimpin sudah berpikir matang dan mengambil langkah historis ini, yang lahir dari sebuah konsern bersama akan kehidupan bersama di masa depan yang lebih sejahtera, rukun dan damai, tinggal saja setiap orang membuka diri dan wawasannya untuk menerima dan mempraktekan di dalam hidup sehari-hari.

Secara jelas, apa yang Paus mau nyatakan dengan kunjungannya tersebut?

Melalui misi perdamaian ini, Paus sekali lagi menegaskan kepada dunia, penting dan luhurnya misi dan upaya perdamaian yang dicanangkan dan diupayakan oleh Gereja Katolik, terutama dengan sikap dan dinamika baru sejak Konsili Vatikan II di atas dasar Dokumen Nostra Aetate. Paus Fransiskus tidak mengurangi apapun yang sudah dilakukan Paus-paus sebelumnya.  Beliau melanjutkannya dan malah memberikan tekanan baru pada persaudaraan universal umat manusia. Hal ini merupakan sebuah langkah lebih jauh dari sebuah toleransi biasa yang sudah selalu dicanangkan dan dipraktikkan, tetapi tidak terlepas dari berbagai kelemahannya.

Kenapa baru sekarang ada kunjungan itu, apa hambatannya selama ini?

Paus Johannes Paulus II (1978-2005) terkenal dengan kedekatannya dengan semua orang, termasuk umat beragama lain, terkhusus dunia Islam. Beliau melakukan banyak kunjungan ke negara-negara Islam dan tempat-tempat dengan kekentalan Islam Arab tinggi.

Di bawah era kepemimpinan Paus Benediktus XVI yang memulai pontifikatnya tahun 2005 menggantikan Paus Johannes Paulus II, relasi dengan dunia Islam agak terganggu pasca kuliah Regensburg (Jerman) tahun 2006. Hal itu dipersulit lagi, khususnya, dengan putusnya relasi diplomatik antara Vatikan dan Mesir pada tahun 2011.

Relasi dan kerjasama yang baik antara Vatikan, terutama dengan Dewan Kepausan untuk Dialog antar Umat Beragama dengan Universitas al-Azhar yang sudah dibangun secara struktural sejak tahun 1988, tidak berjalan lagi. Sekalipun demikian, relasi dan kerjasama dengan negara-negara Arab lainnya masih tetap berjalan. Akan tetapi menyadari pentingnya menjalin relasi dan kerjasama yang baik dengan institusi ternama al-Azhar, yang sayangnya masih belum terjalin kembali, dirasakan adanya sesuatu yang penting yang missing (hilang).

Baru di bawah kepemimpinan Paus Fransiskus yang memimpin dengan sikap dan dinamika keterbukaan baru, terjalin kembali relasi dengan al-Azhar yang dipeti-es-kan selama 6 tahun hingga tahun 2017, ditandai dengan kunjungan pertama kali Imam Besar al-Tayyib kepada Paus Fransiskus di Vatikan. Peristiwa rekonsiliasi ini sekaligus membuka sebuah jalan dan kemungkinan kerjasama yang lebih besar dan lebih bebas seperti sedia kala.

Itulah sebabnya, seperti diketahui bersama bahwa kunjungan Paus Fransiskus ke Emirat Arab kali ini tidak terlepas dari peran dan tanggungjawab al-Azhar melalui pribadi Imam Besar Ahmad al-Tayyib yang juga menjadi partner penandatanganan Deklarasi Bersama di atas.

Terlepas dari itu, harus diketahui bahwa seorang Paus baru akan melakukan kunjungan ke sebuah negara kalau pihak pemerintah dalam kerjasama dengan pimpinan Gereja Katolik setempat  mengundang Sri Paus secara resmi. Lawatan ke sebuah negara bukan sebuah murni keinginan Sri Paus.

Kerjasama apa yang perlu dibangun ke depan agar kunjungan ini berfaedah bagi dunia?

Satu hari setelah kembali dari Abu Dhabi,di dalam upacara audiensi umum dengan ribuan umat dan peziarah di Vatikan, Paus Fransiskus menekankan pentingnya “Deklarasi Bersama Abu Dhabi“ dan meminta kepada setiap orang untuk membaca, merenungkan dan merealisasi gebrakan baru “Persaudaraan Universal“ umat manusia sejagad.

Sesaat sebelum memulai Audiensi umum ini, Sri Paus meminta Dewan Kepausan untuk Dialog antar Umat Beragama (Kantor kami) untuk mulai menyebarkan Dokumen Bersama di atas melalui struktur Gereja Katolik yang ada. Inilah salah satu sifat kepemimpinan Paus Fransiskus yang tidak hanya berwacana, tetapi juga langsung merealisasi apa yang beliau katakan.

Penerbitan deklarasi bersama sudah merupakan satu hal lumrah pada pertemuan-pertemuan atau konferensi-konferensi dialog lintas agama. Saya sendiri sudah banyak kali mengalami hal serupa di berbagai forum dialog lintas agama, baik lokal maupun internasional. Kendala kita biasanya bagaimana membuat butir-butir pernyataan sikap bersama itu sampai ke tingkat akar rumput, dan bagaimana mengejawantahkannya di dalam kehidupan sehari-hari.

Ini sering merupakan kendala yang menyejarah. Banyak yang mengeritik bahwa konferensi-konferensi dialog lintas agama hanya sebatas memproduksi kertas-kertas berisi pernyataan bersama tanpa follow-up.

 Tampaknya ada kebenaran ungkapan bernada sindiran itu….

Dalam banyak hal, benar. Kendala ini berkaitan pertama-tama dengan ketiadaan struktur dan hirarki keagamaan yang jelas yang berujung pada masalah keterwakilan: Siapa mewakili siapa, dan apakah semua orang merasa terwakilkan oleh seorang pemimpin. Banyak tokoh yang hadir di dalam sebuah forum boleh merasa mewakili banyak orang, tetapi tidak dianggap terwakilkan oleh semua orang. Ini tentu berkaitan dengan kemajemukan cara pikir dan cara pandang orang-orang yang diwakili, baik secara pribadi maupun secara struktural-organisasi.

 Lalu bagaimana?

Berhadapan dengan masalah ini, tanggungjawab moral selalu berada di pundak pemimpin yang mewaiki umatnya untuk tetap konsisten dan konsekuen terhadap komitmennya dan berupaya untuk meyakinkan kebenaran sikap bersama melalui program-program sosialisasi hingga ke tingkat akar rumput melalui strukturnya yang ada. Selian itu, dibutuhkan kesadaran dan keterbukaan setiap individu untuk menerima dan merangkul kebenaran yang disampaikan oleh karena luhurnya tujuan dan misi yang dibawa melalui pernyataan sikap bersama itu.

Kalau nilai-nilai luhur yang sudah disepakati bersama ini tidak ditindaklanjuti, dia akan hilang bersama kertas-kertas yang memuatnya. Tetapi kalau dihidupi dan diejawantah, maka dia akan membumi dan membatin. Di saat itu pula, suasana persaudaraan di dalam perbedaan akan mulai terasa dan terus akan membudaya. (EDL)