Gereja Katolik, HARKOM KE 59, Studi Komsos, Katekese, Umat Katolik, Yesus Juruselamat, KWI, Konferensi Waligereja Indonesia, Komsos KWI, Gereja Katolik, Umat Katolik, Gereja Katolik, Katekese, Ajaran Katolik

MIRIFICA.NET, Jakarta – Dunia digital dan era post-truth menghadirkan tantangan serius bagi Gereja Katolik. Arus informasi yang deras, bias framing media, hingga polarisasi sosial membuat pewartaan iman tidak lagi bisa mengandalkan cara-cara lama.

Demikian disampaikan Pakar Etika Komunikasi Dr. Haryatmoko SJ dalam paparannya di hadapan Ketua Komisi Komsos KWI Mgr Kornelius Sipayung, OFMCap dan Sekretaris Eksekutif Komsos KWI Rm Steven Lalu serta Badan Pengurus Komsos KWI dan para Ketua Komsos di Gedung KWI, Jakarta, Sabtu (25/04/2025).

Romo Dr. Haryatmoko, SJ mengajak Gereja mengembangkan strategi baru: menjadikan komunikasi sebagai tindakan pastoral yang bermuara pada kebenaran, kasih, dan solidaritas. “Komunikasi bukan lagi sekadar alat,” tegas Romo Haryatmoko di hadapan peserta seminar daring tersebut. “Komunikasi adalah partisipasi nyata dalam misi evangelisasi. Ia harus mencerminkan nilai Kristiani, bukan sekadar menyampaikan informasi.”

Menurutnya, seluruh realitas sosial saat ini telah menjadi mediated social reality — realitas yang dibentuk dan diinterpretasikan melalui media. “Tidak ada lagi fakta telanjang,” ujarnya. Karena itu, Gereja dituntut untuk tidak hanya menjadi konsumen media, melainkan ikut memperkaya ruang mediasi dengan perspektif iman.

Ia mengutip prinsip Communio sebagai landasan spiritualitas komunikasi sosial: pewartaan yang membangun persatuan, meneguhkan kasih, dan memperjuangkan solidaritas. “Jika Gereja tidak ikut ambil bagian, nilai-nilai Kristiani akan tergilas oleh narasi dunia,” tandasnya.

Literasi Digital dan Etika Komunikasi: Urgensi Pastoral
Menghadapi era di mana emosi lebih berkuasa daripada fakta, Romo Haryatmoko menggarisbawahi pentingnya formasi umat dalam literasi digital. “Formasi digital bukan lagi pilihan. Ini keharusan pastoral,” katanya. Ia menjelaskan bahwa kemampuan membedakan antara informasi faktual dan hoaks, serta membaca secara kritis narasi media, harus ditanamkan sejak dini — terutama kepada kaum muda, katekis, dan para pelayan pastoral.

Dalam hal ini, etika komunikasi menjadi fondasi: mendorong penggunaan kebebasan berekspresi secara bertanggung jawab, membangun narasi yang mempersatukan, serta menolak ujaran kebencian.

“Misi kita adalah membangun umat yang mampu bertanya ‘mengapa’, bukan sekadar menerima informasi begitu saja,” tambahnya. Ia menegaskan bahwa hoaks tidak hanya mengincar tingkat pendidikan rendah. “Bahkan seorang guru besar pun bisa terjebak hoaks kalau seleksi beritanya didominasi oleh hasrat atau ideologi pribadi.”

Di era post-truth, ujar Romo Haryatmoko, kebenaran seringkali ditenggelamkan oleh opini yang viral dan emosi kolektif. Karena itu, Gereja dipanggil untuk konsisten menghidupi prinsip veritas in caritate — menyuarakan kebenaran dalam kasih.

Ia memperingatkan bahwa tantangan disinformasi dan polarisasi bukan saja mengancam kebenaran publik, tetapi juga dapat meretakkan persaudaraan umat beriman. “Gereja harus menjadi suara kenabian yang kritis terhadap disinformasi, namun tetap berbelarasa,” katanya.

Di tengah budaya viral dan ilusi algoritma, tugas Gereja adalah membangun narasi alternatif: narasi harapan melawan pesimisme digital, narasi pengampunan melawan kebencian, narasi komunitas melawan individualisme dunia maya.

Dalam penguatan komunikasi sosial, Romo Haryatmoko menyerukan pengembangan media Katolik yang lebih kolaboratif dan kontekstual. “Media kita harus mampu menjangkau kaum muda di habitat digital mereka: TikTok, Instagram, podcast,” tegasnya. Ia mendorong kerja sama erat antara hirarki Gereja, komunitas basis, dan profesional media Katolik. “Komisi Komsos Keuskupan dan Paroki perlu menggandeng awam profesional, ahli IT, serta para kreator muda,” tambahnya.

Menurutnya, konten tidak cukup hanya informatif. “Kita harus membangun komunikasi yang interaktif, dialogis, dan joyful — penuh sukacita Injil.”

Romo Haryatmoko memetakan tantangan besar yang dihadapi kerasulan komunikasi sosial: 1).Disinformasi dan hoaks religius yang memecah belah umat beriman. 2). Fragmentasi sosial akibat algoritma digital (echo chambers, filter bubbles). 3). Konsumerisme digital yang mengikis keheningan dan refleksi iman. 4). Apatisme terhadap institusi Gereja di kalangan muda.

Sebagai langkah nyata, ia mengusulkan pembentukan Tim Komsos Digital di setiap paroki untuk memproduksi konten kontekstual, pembuatan kurikulum literasi digital pastoral, serta pengembangan dialog antariman dan antargenerasi melalui media sosial.

Membaca Media dengan Nurani: Sikap Kritis Tanpa Sinisme
Salah satu prinsip penting yang ditegaskan Romo Haryatmoko adalah perlunya sikap media literacy yang bernurani. “Kita harus kritis terhadap siapa pembuat konten, apa framing tersembunyinya, dan apakah konten itu mendorong kasih, kebenaran, dan keadilan,” jelasnya.

Namun, ia mengingatkan untuk tidak terjebak dalam sinisme. “Kritik harus disertai semangat membangun narasi alternatif, bukan sekadar menolak,” katanya. Gereja, menurutnya, dapat melatih umat untuk menjadi kurator etis: membagikan informasi yang membangun iman, memperjuangkan martabat manusia, dan menumbuhkan harapan.

Menutup pemaparannya, Haryatmoko menegaskan bahwa tugas Gereja adalah menjadi mediator realitas iman — menghadirkan ruang yang memerdekakan di tengah dunia yang sering kali dibentuk oleh narasi manipulatif.

“Gereja mengundang umat untuk masuk ke dalam realitas yang lebih dalam: realitas iman yang tidak bisa dimanipulasi oleh algoritma,” pungkasnya.

Ia mencontohkan kisah Komisi Rekonsiliasi di Afrika Selatan sebagai ilustrasi bagaimana kekuatan narasi pengampunan mampu melampaui luka sejarah. “Narasi alternatif seperti itu bisa diangkat dan diadaptasi dalam kerasulan media saat ini,” usulnya.

Pemaparan ini diakhiri dengan ajakan kepada peserta untuk menjadi agen-agen perubahan: membangun komunikasi sosial Gereja yang lebih reflektif, membebaskan, dan transformatif, di tengah tantangan dunia digital yang terus bergerak.

Penulis : Abdi Susanto