Malang – Komunikasi kita hari ini sedang terinfeksi. Banyak yang bicara, tapi sedikit yang mendengar. Seolah-olah dunia ini semakin ramai tapi makin sunyi. Demikian disampaikan Sosiolog dari Kampus STFT Widya Sasana, Romo Dr. I Wayan Marianta SVD dalam diskusi merefleksikan pesan Paus Fransiskus untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-59, di Aula STFT, Kamis (12/06/2025).
Wayan mengutip Paus Fransiskus yang mengingatkan soal bahaya polarisasi, disinformasi, dan komunikasi yang digunakan untuk membelah. “Kita jadi akrab dengan komunikasi agresif, manipulatif, bahkan menyakitkan. Dan anehnya, itu dianggap normal,” katanya.
Lulusan University of the Philippines, Manila ini membentangkan paparan soal dunia yang terluka. Ia menyebut masyarakat yang dijejali rasa takut, prasangka, dan fanatisme, hasil dari arus informasi tak terkendali dan algoritma yang mengurung manusia dalam gelembungnya sendiri. “Setiap hari kita dijejali kabar-kabar berisi ancaman, kebencian, dan politik identitas,” katanya, mengutip riset Microsoft yang menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat kesopanan digital terendah di Asia Tenggara.
Menurut Wayan, semua bermula dari bagaimana pusat kekuasaan dan perusahaan teknologi besar menguasai data pribadi masyarakat, lalu menyusun ulang realitas lewat algoritma. Ia menyebut ini sebagai “weaponisasi informasi,” ketika informasi bukan lagi alat pengetahuan, melainkan senjata untuk membentuk opini dan memecah-belah.
Di depan para peserta seminar yang terdiri dari para Romo, suster, dan pegiat komsos, Romo Wayan bercerita tentang bagaimana big data bisa memetakan kecenderungan manusia, lalu menyajikan informasi sesuai minat, sekaligus menyembunyikan realitas yang tak sesuai selera algoritma. “Kita scroll dan scroll tanpa sadar bahwa itu bukan kebebasan. Kita dipandu oleh kekuatan tak kasatmata yang tahu apa yang kita suka, benci, bahkan takuti,” ujarnya.
Namun di balik situasi itu, Wayan menolak menyerah. Ia mengajak peserta menjadi komunikator harapan — istilah yang diambil dari pesan Paus — yang tak sekadar berbagi kabar baik, tapi mampu menyentuh, merawat, dan memulihkan. “Harapan itu bukan sekadar optimisme. Dia performatif, kata Paus Benediktus XVI, karena bisa menggerakkan,” katanya.
Ia mengingatkan soal bahaya harapan palsu. Wayan menyelipkan kisah Pandora yang, dalam mitologi Yunani, melepaskan segala kejahatan ke dunia, tapi harapan tetap tinggal di dalam kotak. “Harapan bisa jadi jebakan jika hanya jadi pelarian. Kita harus waspada pada ilusi penghiburan palsu yang bikin kita nyaman tapi pasrah,” katanya.
Di ujung seminar, ia kembali ke soal dasar: belajar dari Yesus sang komunikator sejati. Ia menyinggung peristiwa perjalanan ke Emaus, ketika dua murid yang kecewa ditinggal Yesus berbincang di jalan, tanpa tahu Sang Guru ada di samping mereka. “Komunikasi itu soal mendengar sebelum bicara. Mengajak, bukan memaksa. Menguatkan, bukan menyalahkan,” katanya.
Wayan menyebut gereja perlu membangun ruang-ruang komunikasi yang menyembuhkan, bukan sekadar platform digital. Ia percaya komunitas kecil yang hidup dari relasi nyata tetap penting. “Kalau semua lari ke medsos, lalu siapa yang akan saling mendoakan? Siapa yang pegang tangan saat air mata tumpah?” katanya.
Wayan menegaskan, selama masih ada orang mau memegang lilin di ruang gelap, harapan tidak akan mati, katanya.

Mantan Jesuit, Pendiri Sesawi.Net, Jurnalis Senior dan Anggota Badan Pengurus Komsos KWI