Malang — Di tengah dunia digital yang kian bising, pesan Paus Fransiskus pada Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-59 menjadi peringatan penting. Komunikasi bukan sekadar pertukaran informasi, tapi relasi yang bersumber dari Allah Tritunggal. Demikian ditegaskan Ketua Komisi Komsos Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Uskup Agung Medan, Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap, dalam seminar bertema Menjadi Komunikator Pengharapan di STFT Widya Sasana Malang, Kamis (12/06/2025).
Seminar yang diselenggarakan sebagai rangkaian acara Pekan Komunikasi Sosial Nasional ke-12 ini juga menghadirkan Dosen Sosiologi STFT Widya Sasana Romo Yohanes I Wayan Marianta SVD dan Pakar Komunikasi Digital dan Teknologi Informasi Prof. Richardus Eko Indrajit sebagai pembicara dengan moderator Yusuf Marwoto. Hadir juga dalam acara ini para ketua dan pegiat komsos seluruh Keuskupan di Indonesia, mahasiswa STFT serta para tamu undangan.
Dalam paparan selanjutnya, Mgr. Kornelius menyatakan, esensi komunikasi dalam iman Katolik berakar pada misteri Tritunggal Mahakudus: relasi kasih antara Bapa, Putra, dan Roh Kudus. “Allah itu relasional, bukan pribadi yang tertutup,” katanya. Karena itu, komunikasi harus menjadi jalan membangun relasi yang mempersatukan, bukan memecah. Dalam konteks sosial saat ini, pesan itu, menurutnya, menjadi penting, sebab komunikasi di ruang digital kerap dipakai untuk menebar kebencian, memanipulasi, dan memperkeruh relasi sosial.
Selanjutnya Romo Wayan memetakan akar persoalan komunikasi di era digital. Menurutnya, Paus Fransiskus membaca tanda zaman dengan sangat tepat. Disinformasi dan polarisasi tak lepas dari peran pusat-pusat kekuasaan yang mengendalikan data dan informasi publik.
“Pemerintah dan korporasi teknologi punya akses besar terhadap big data,” kata Romo Wayan. Data tersebut bukan sekadar dikumpulkan, tapi dimanfaatkan untuk profiling dan algoritma, sehingga setiap orang disuguhkan informasi yang memperkuat biasnya sendiri. Akibatnya, publik hidup dalam gelembung informasi. “Yang pro pemerintah baca yang pro, yang kontra baca yang kontra,” jelasnya.
Tak hanya itu, pola ini juga membentuk neuropolitik, di mana emosi massa dimainkan lewat informasi yang disesuaikan minatnya. Masyarakat dibuat ketagihan menggulir layar tanpa sadar sedang diarahkan. Efeknya: publik terbelah, bahkan di komunitas iman sendiri.
Komunikasi Sebagai Senjata atau Pelukan
Prof. Eko menambahkan bahwa Indonesia kini dinobatkan sebagai bangsa paling tidak ramah di media sosial se-Asia Tenggara. “Komunikasi kita jadi senjata, bukan pelukan,” katanya.
Menurutnya, komunikasi ofensif kini jadi hal lumrah di jagat maya. Orang berlomba meraih perhatian lewat konten sensasional demi keuntungan finansial. Inilah yang disebutnya sebagai ‘ekonomi perhatian’ — bisnis berbasis klik, likes, views, dan viralitas, tanpa peduli etika. “Orang rela melakukan apa saja demi viral,” ujar Eko.
Ia mengajak umat Katolik menerapkan konsep disarm communication, yakni komunikasi yang melucuti senjata kata-kata agresif dan menggantinya dengan pesan damai. Tantangannya, ujar dia, orang baik kerap diam, sementara ruang digital dijejali konten penuh ujaran kebencian. “Beranikah kita memanggul salib di media sosial?” tanya Eko retoris. Artinya, berani tetap bersuara santun dan benar, meski dibully. “Karena yang sopan biasanya memilih diam atau keluar dari grup,” sindirnya.
Rektor Universitas Pradita ini kemudian membeberkan cara kerja algoritma media sosial yang membentuk filter bubble. Konten yang muncul bukan lagi realitas objektif, melainkan yang sesuai minat dan afiliasi politik pengguna. “Akhirnya orang yakin gelembungnya itulah dunia,” tegasnya.
Ia menyoroti minimnya literasi digital masyarakat. “Sembilan dari sepuluh orang Indonesia tak menikmati pendidikan tinggi. Karena itu mudah terpancing isu agama dan SARA,” katanya. Solusi utamanya, lanjut Eko, adalah membangun ekosistem literasi digital sejak keluarga, sekolah, dan komunitas.
Peran Gereja di Tengah Kegaduhan Digital
Romo Wayan menambahkan, di tengah polarisasi informasi, Gereja Katolik di Indonesia justru sedang memasuki masa keemasan. Ia mengingatkan agar pertumbuhan ini tidak hanya terjadi di ruang virtual, tetapi juga di komunitas nyata. “Face to face interaction tetap penting,” katanya.
Ia juga menyinggung fenomena penggunaan simbol-simbol Katolik di media sosial yang ikut memperkuat eksistensi Gereja. Mulai dari Rabu Abu, Minggu Palma, hingga ziarah menjadi konten viral yang justru mempererat identitas iman umat muda.
Menutup diskusi, kedua narasumber sepakat, Gereja perlu memanfaatkan algoritma digital untuk menyebarkan pesan damai dan harapan. Prof. Eko mengingatkan pentingnya memahami logika kerja algoritma, termasuk search engine optimization (SEO) untuk memastikan pesan Gereja tampil di halaman depan mesin pencari. “Kalau kita diam, ruang digital dipenuhi suara bising yang memecah,” tandasnya. Saatnya komunikasi Katolik menjadi terang di tengah ruang maya yang gelap.

Mantan Jesuit, Pendiri Sesawi.Net, Jurnalis Senior dan Anggota Badan Pengurus Komsos KWI