Sekretaris Eksekutif KWI Rm PC Siswantoko Pr saat mengisi program podcast Komsos KWI di Studio KWI, Lantai 4, Menteng, Jakarta. Foto : Komsos KWI

SAGKI 2025 Jadi Momentum Gereja Sinodal dan Misioner

Jakarta — Gereja Katolik Indonesia bersiap memasuki babak baru perjalanan imannya. Pada November 2025 mendatang, Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) akan kembali digelar di Jakarta setelah tertunda selama hampir satu dekade. Bagi Sekretaris Eksekutif Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Romo Paulus Christian Siswantoko, Pr, SAGKI bukan sekadar pertemuan lima tahunan, melainkan momentum Gereja untuk menyalakan kembali semangat kebersamaan dan perutusan di tengah dunia yang berubah cepat. “SAGKI adalah kita yang sedang berjalan bersama untuk membangun Gereja dan bangsa,” ujar Romo Koko — sapaan akrabnya — dalam wawancara dengan tim podcast Komsos KWI.

Gereja yang Menyimak Suara Zaman

SAGKI 2025 mengambil tema “Berjalan Bersama sebagai Peziarah Pengharapan” dengan subtema “Menjadi Gereja Sinodal yang Misioner untuk Perdamaian.” Tema itu lahir dari tiga konteks besar: perjalanan sinode para uskup sedunia (2021–2024) tentang sinodalitas, Tahun Yubileum 2025 yang mengajak umat menjadi peziarah pengharapan, serta seruan Bapa Suci agar Gereja menjadi pembawa damai di dunia.

Menurut Romo Koko, tema tersebut menandai arah baru Gereja Katolik Indonesia. “Kita ingin menjadi Gereja yang mendengar, berdialog, dan berjalan bersama seluruh umat. Gereja yang hadir bukan hanya di altar, tapi juga di tengah masyarakat,” katanya.

SAGKI, lanjutnya, menjadi ruang reflektif bagi seluruh unsur Gereja — para uskup, imam, biarawan-biarawati, dan umat awam — untuk membaca tanda-tanda zaman dan mencari bentuk kesaksian iman yang relevan. “Kita menghadapi realitas baru: ketimpangan sosial, krisis lingkungan, bias gender, dan tantangan digitalisasi. Gereja tidak boleh berdiam diri,” tegasnya.

Dari Seremonial ke Gerakan Nyata

SAGKI akan berlangsung selama lima hari, 3–7 November 2025, diikuti sekitar 450 peserta dari 38 keuskupan di seluruh Indonesia. Proses persiapannya telah dimulai sejak awal 2024 melalui pertemuan pra-SAGKI di berbagai keuskupan. Setiap keuskupan mengutus perwakilan untuk membawa suara umat dari basis, agar sidang tidak berhenti pada tataran konseptual.

Yang menjadi ciri khas SAGKI, menurut Romo Koko, adalah rencana tindak lanjut (RTL) yang disusun di akhir sidang. Dokumen ini tidak hanya memuat rekomendasi, tetapi juga langkah konkret yang dapat diterapkan di keuskupan dan paroki. “RTL bukan dokumen seremonial. Ia harus menjadi panduan pastoral nyata, menetes hingga ke tingkat lingkungan dan keluarga,” ujarnya.

Untuk memastikan kesinambungan itu, KWI akan membentuk tim penghubung di setiap keuskupan yang bekerja sama dengan Dewan Karya Pastoral. Dengan cara ini, hasil SAGKI tidak berhenti di meja sidang, melainkan menjelma menjadi gerakan pastoral yang hidup di tengah umat. “Jangan sampai setelah SAGKI selesai, semua kembali seperti biasa. Kami ingin semangatnya terus menyala,” tutur Romo Koko.

Menegaskan Peran Umat Awam

Salah satu pesan penting SAGKI 2025 adalah penguatan peran umat awam. Romo Koko menegaskan bahwa awam bukan pelengkap, tetapi bagian hakiki dari Gereja yang misioner. “Awam adalah pewarta Injil di tengah dunia. Mereka menghadirkan Gereja di keluarga, tempat kerja, dan ruang sosial,” ujarnya.

Karena itu, keterlibatan awam di SAGKI tidak hanya bersifat simbolik. Para peserta awam akan membawa pengalaman konkret dari lapangan, dari kehidupan sehari-hari umat yang berhadapan langsung dengan realitas sosial dan ekonomi. Dalam pandangan Romo Koko, inilah wujud nyata Gereja sinodal: semua umat berjalan bersama, saling mendengar, dan saling meneguhkan.

Gereja yang Membangun Perdamaian

Dalam konteks Indonesia yang majemuk, Romo Koko berharap SAGKI menjadi ruang bagi Gereja untuk memperkuat perannya sebagai pembawa damai dan pembangun persaudaraan. Ia menekankan, Gereja harus terus meneguhkan identitasnya sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang plural.

“Kita hidup di negeri Indonesia. Maka, menjadi 100 persen Katolik berarti juga 100 persen Indonesia,” katanya. Gereja, tambahnya, mesti hadir dalam kehidupan masyarakat dengan memberi kontribusi nyata bagi kemanusiaan, keadilan sosial, dan kelestarian bumi.

Ia juga mengingatkan pentingnya keterbukaan terhadap dialog lintas iman dan kerja sama sosial lintas lembaga. Dalam situasi bangsa yang kerap terbelah oleh politik identitas, Gereja dipanggil untuk menjadi jembatan dan ruang perjumpaan.

Dari SAGKI untuk Indonesia

Persiapan SAGKI dilakukan melalui proses panjang dan partisipatif. Sejak akhir 2023, KWI telah membentuk panitia nasional dan tim perumus tema yang melibatkan berbagai kalangan, termasuk teolog, akademisi, dan praktisi pastoral. Semua ini dilakukan agar hasil sidang benar-benar menjawab kebutuhan Gereja dan masyarakat Indonesia saat ini.

Menurut Romo Koko, SAGKI bukan hanya soal Gereja berbicara kepada umatnya, tetapi juga bagaimana Gereja mendengarkan dunia. “Kita ingin memastikan bahwa Gereja relevan, hadir, dan ikut serta membangun masa depan bangsa,” katanya.

Harapan besarnya sederhana: setelah SAGKI, Gereja Indonesia semakin hidup dan harmonis, baik secara internal maupun eksternal. Harmonis internal berarti ada kerja sama erat antara hierarki dan umat. Harmonis eksternal berarti Gereja menjadi sahabat bagi semua orang, tanpa memandang agama, suku, atau latar belakang. “SAGKI adalah momentum untuk meneguhkan kembali semangat misioner kita. Gereja harus keluar, menyapa, dan membawa damai bagi dunia,” ujar Romo Koko menutup percakapan.

Dengan arah itu, Gereja Katolik Indonesia tampak bersiap menyalakan kembali nyalanya — bukan hanya dalam liturgi dan doa, tetapi dalam kehadiran nyata di tengah masyarakat. SAGKI 2025 menjadi tanda bahwa Gereja tidak berhenti berjalan; ia terus melangkah bersama umatnya, menjadi peziarah pengharapan di bumi Indonesia.