JAKARTA – Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) yang digelar setiap lima tahun sekali (kecuali tahun 2020 ditiadakan karena covid 19, red) selalu menjadi tonggak penting dalam peziarahan Gereja Katolik Indonesia. SAGKI 2025 kali ini mengusung tema yang menekankan sinodalitas serta ziarah pengharapan sesuai dengan tema Sinode Biasa Para Uskup XVI dan keterkaitannya dengan Tahun Yubileum 2025. Maka, SAGKI 2025 diharapkan menjadi penegasan dan kesempatan bagi Gereja Katolik Indonesia sebagai persekutuan umat Allah yang berjalan bersama dalam semangat persaudaraan dan misioner dalam mewujudkan misi Kristus di dunia, yakni hidup damai dalam arti yang sebenarnya.
“SAGKI menjadi tradisi penting Gereja Katolik Indonesia sejak tahun 2000. Pertemuan besar ini diselenggarakan setiap lima tahun sekali, mempertemukan seluruh unsur Gereja: para uskup, imam, biarawan-biarawati, dan umat awam dari seluruh keuskupan di Indonesia,”ujar Sekretaris Eksekutif Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Rm. PC Siswantoko Pr, di Jakarta.
Agar dapat berdinamika dengan baik dan berjalan bersama sesuai dengan kondisi dan situasi Gereja dan bangsa dewasa ini, SAGKI 2025 diawali dengan sharing dan refleksi di tiap-tiap keuskupan. Hasil sharing dan refleksi di tiap-tiap keuskupan itu kemudian disintesiskan atau dirangkum di provinsi gerejawi masing-masing. Sintesis tersebut akan dipaparkan oleh satu orang perwakilan provinsi gerejawi dalam SAGKI.
Lebih dari sekadar forum pertemuan yang penting bagi perkembangan Gereja Katolik Indonesia dan penegasan kembali tugas perutusan Gereja untuk menjadi garam dan terang di tengah dunia, SAGKI dihadirkan sebagai ruang sinodalitas: tempat seluruh umat Katolik Indonesia untuk berjalan bersama, mendengarkan satu sama lain, saling belajar bersama serta menangkap bisikan Roh Kudus melalui sharing dan dialog.
Metode sharing dan dialog yang dipakai dalam SAGKI bukan sekadar teknik atau cara komunikasi, melainkan merupakan roh yang menghidupkan dinamika sinodalitas. Dengan roh ini, Gereja hendak menegaskan bahwa pengambilan keputusan pastoral tidak hanya lahir dari dokumen-dokumen resmi, tetapi dari kondisi riil kehidupan umat, pengalaman keseharian mereka, yang kemudian diproses dalam dinamika bersama.
“Kita menghadapi berbagai persoalan di depan mata: kemiskinan, ketidakadilan, bias gender, kerusakan alam. Gereja bisa buat apa? Di sinilah peran SAGKI menjadi nyata—sebagai ruang mendengar dan mencari arah pastoral yang kontekstual,” ujar Rm. Koko, begitu pastor dari Keuskupan Purwokerto ini disapa.
Sharing: Saling Mendengarkan dan Saling Belajar
Sharing merupakan proses membagikan pengalaman kehidupan konkret dalam suasana persaudaraan dan kebersamaan. Selain itu, sharing memberi ruang kepada setiap orang untuk mengungkapkan pengalaman, entah berupa sukacita, tantangan, kegagalan, maupun harapan.
Dalam sharing, peserta tidak hanya berbicara, tetapi juga mendengarkan. Sharing menjadi latihan rohani untuk saling menyambut: menyambut pengalaman sesama, menyambut kehadiran Allah dalam pengalaman orang lain, dan menyadari bahwa setiap orang memiliki “kebenaran” tertentu. Dan akhirnya, orang mengalami bahwa mereka adalah tubuh Kristus yang hidup untuk saling menopang, saling meneguhkan, dan saling menanggung beban.
Hal ini ditegaskan oleh Paus Leo XIV dalam sambutan perdananya dalam Urbi et Orbi, “… bantulah satu sama lain untuk membangun jembatan-jembatan, melalui dialog dan perjumpaan, yang menyatukan kita semua agar menjadi hanya satu umat yang selalu dalam damai.”
Di dalam forum SAGKI, sharing dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil. Hal ini diharapkan untuk membangun suasana yang lebih akrab sehingga orang bebas menyampaikan isi hati tanpa takut dihakimi. Setiap sharing bukan dimaksudkan untuk “berdebat”, melainkan untuk saling mendengarkan dan saling belajar bersama.
Dengan demikian, melalui sharing, SAGKI melatih seluruh umat agar tidak berhenti pada monolog hierarkis, tetapi dapat membangun dialog yang sehat di antara umat Allah, maupun dengan hierarki sendiri.
Dialog: Mencari Jalan Bersama
Setelah melakukan sharing dalam kelompok-kelompok, peserta masuk ke dalam tahap selanjutnya, yakni: dialog. Inilah inti dari metode sinodal: mencari jalan bersama menuju kehendak Allah melalui perjumpaan saling mendengarkan dan saling belajar.
Dialog dalam SAGKI tidak dimaksudkan sebagai perdebatan untuk mencari pemenang, melainkan berdisermen bersama: proses membedakan kehendak Allah dengan mendengarkan dan belajar satu sama lain. Seperti ditegaskan oleh Sinode Biasa Para Uskup XVI, dalam disermen ini dibutuhkan “kebebasan batin, kerendahan hati, doa, saling percaya, sebuah keterbukaan terhadap hal-hal baru dan penyerahan pada kehendak Allah” (Dokumen Final, no. 82).
Dalam hal ini dialog bukan semata-mata pertukaran gagasan, melainkan selalu merupakan “pertukaran karunia” yang dimiliki oleh pihak-pihak yang berdialog. Maka dalam dialog, setiap pihak — uskup, imam, religius, awam, termasuk orang muda — duduk bersama, saling bertanya, memberi dan menerima masukan, dan mencari titik temu. Dengan demikian, keputusan pastoral yang lahir bukanlah keputusan sepihak, melainkan sebagai buah bersama. Hal ini juga diamanatkan oleh Sinode bahwa “cara untuk mengembangkan Gereja yang sinodal adalah dengan mendorong sebanyak mungkin keikutsertaan seluruh Umat Allah dalam proses pengambilan keputusan” (Dokumen Final, no. 87)
Dengan demikian, dialog juga memungkinkan Gereja menjadi lebih inklusif. Mereka yang berbeda pandangan, bahkan yang sering kritis terhadap Gereja, dimungkinkan untuk duduk bersama. Justru di sini Gereja bisa belajar untuk tidak menyingkirkan suara minoritas, melainkan menyaringnya sebagai potensi perbaikan bagi langkah bersama. Hal ini sejalan dengan apa yang diharapkan Paus Leo XIV “kita ingin menjadi sebuah Gereja yang sinodal, sebuah Gereja yang berjalan maju bersama, sebuah Gereja yang selalu mencari damai, yang selalu mencari kasih, yang selalu berusaha untuk dekat terutama dengan mereka yang menderita” (Sambutan perdana)
Pentingnya sharing dan dialog
Metode sharing–dialog yang digunakan dalam SAGKI 2025 memiliki makna yang sangat mendalam karena keduanya dapat meneguhkan sinodalitas. Sharing menumbuhkan solidaritas sementara dialog menghasilkan disermen bersama sehingga dari keduanya tumbuh perwujudan nyata dari Gereja yang mendengarkan.
Juga, kedua metode ini dapat membuka ruang partisipasi nyata dari umat. Mereka bukan hanya sekadar penerima keputusan, melainkan menjadi pemeran aktif dalam proses perumusan untuk pengambilan arah haluan Gereja ke depan. Umat memperoleh partisipasi lebih besar untuk berperan serta dalam pengambilan keputusan. Suara umat, termasuk mereka yang jarang sekali didengar atau bahkan sering kali tidak memiliki suara, bisa didengar hingga ke forum nasional. Maka, bila terjadi demikian dapat dipastikan bahwa keputusan yang diambil sungguh muncul dari “bau domba” (bdk, Evangelii Gaudium, no. 24)
Akhirnya, dengan saling mendengarkan dan saling belajar melalui kedua metode ini, SAGKI ingin menegaskan kembali pentingnya kesadaran bahwa “mendengarkan adalah unsur penting dari setiap aspek kehidupan menggereja” (Dokumen Final, no. 78), demi mewujudkan Gereja sinodal yang misioner.
Keistimewaan SAGKI, kata Romo Koko, ada pada jangkauannya yang luas dan proses reflektif yang mendalam. Selama lima hari, dari 3 sampai 7 November 2025 di Jakarta, sekitar 450 peserta dari 38 keuskupan akan berkumpul untuk mendengarkan, berdiskusi, dan menyusun Rencana Tindak Lanjut (RTL). Dokumen ini bukan sekadar formalitas, tetapi menjadi panduan nyata bagi setiap keuskupan untuk melaksanakan hasil-hasil SAGKI hingga tahun 2030.
“Setiap keuskupan juga akan membentuk tim penghubung (PIC) yang bekerja bersama Dewan Karya Pastoral, agar semangat SAGKI tidak berhenti di pusat, melainkan mengalir sampai ke paroki, lingkungan, dan keluarga,” ujar Koko.
Penutup
SAGKI 2025 menjadi kesempatan berharga bagi Gereja Indonesia untuk saling mendengarkan dan saling belajar dalam semangat sinodalitas demi terwujudnya Gereja Katolik Indonesia yang misioner dan berpengharapan. Gereja semakin menghidupi panggilannya sebagai komunitas sinodal: berjalan bersama dalam Roh, saling meneguhkan, dan bersama-sama menemukan kehendak Allah untuk membangun gereja dan bangsa.
Dengan demikian, SAGKI bukan sekadar forum perjumpaan, melainkan menjadi peziarahan rohani seluruh Gereja Katolik Indonesia, suatu ziarah pengharapan untuk mendengarkan Allah melalui suara umat-Nya, demi mewujudkan Gereja yang lebih partisipatif, inklusif, dan misioner. “SAGKI adalah kita yang sedang berjalan bersama untuk membangun Gereja dan bangsa,” ujar Koko menegaskan.

Freelance, Contributor for Dokpen KWI


